Berpolitik: Beriman secara Kritis

“Tentukan Pilihan, Awali Perubahan”

Pendidikan Politik Mahasiswa

Kelas Spiritualitas Ignasian 2019

Universitas Sanata Dharma

 

Pengantar:

 

  1. Sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi, Universitas Sanata Dharma (USD) berhasrat membentuk generasi muda menjadi pribadi-pribadi yang bersedia dan siap menjadi agen-agen perubahan (agents of change) dalam komunitas dan masyarakat tempat mereka berkarya. Perubahan yang ingin dihadirkan oleh USD melalui pendidikan generasi muda terarah pada perwujudan masyarakat yang semakin menjunjung tinggi keluhuran martabat manusia, sehingga dunia sungguh menjadi rumah bukan hanya bagi yang berkuasa, melainkan bagi semua manusia dan ciptaan, khususnya mereka yang miskin dan tersingkir. Inilah semangat dasar yang diharapkan menjiwai semua insan yang tergabung dalam sivitas akademika
  2. Visi untuk menjadikan masyarakat semakin bermartabat niscaya membawa USD masuk pada geliat dan perjuangan, duka cita dan kekecewaan, serta kegembiraan dan harapan masyarakat Indonesia. USD bukanlah sebuah menara gading yang tercerabut dari ruang kehidupan masyarakat Indonesia. Persis karena itu, perkara-perkara yang menggelisahkan masyarakat Indonesia mesti menjadi bagian dari pergulatan USD.
  3. Pada tahun 2019, perkara yang menjadi pusat perhatian segenap masyarakat Indonesia adalah pelaksanaan Pemilu 2019. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan sebagai Perguruan Tinggi Jesuit, USD jelas memiliki tanggung jawab untuk terlibat. Salah satu bentuk nyata keterlibatan USD adalah menyiapkan segenap mahasiswanya untuk dapat memilih secara “cerdas dan humanis”. Keterlibatan semacam ini lahir dari kesadaran bahwa berpolitik adalah perwujudan kritis dari cara beriman Ignasian.

 

Perihal Beriman:

 

  1. Beriman adalah sebuah tindakan manusiawi (actus humanus). Artinya, beriman adalah sebuah pilihan sadar yang dibuat oleh manusia. Pilihan itu merupakan sebuah pilihan dasar yang mewarnai seluruh aspek kehidupannya. Sebagai sebuah tindakan manusiawi, beriman niscaya melibatkan dimensi Yang Transenden. Tidak ada iman yang melulu imanen atau duniawi. Oleh karena itu, jika mau dirumuskan secara sangat sederhana, beriman adalah sebuah cara berada (way of being) di dunia yang dibentuk oleh relasi pribadi dengan Yang Transenden.
  2. Sebuah cara berada niscaya melibatkan keseluruhan diri manusia secara integral. Manusia per definisi memiliki tiga dimensi konstitutif, yaitu (1) afektif, (2) intelektual, dan (3) korporeal.
  3. Dimensi afektif menunjuk pada kapasitas manusia untuk mengalami pelbagai perasaan manusiawi, entah itu gembira, penuh pengharapan, marah, kecewa, putus asa, dan lain-lain. Pada dimensi ini pulalah, manusia bisa merasakan daya Sang Transenden sebagai bagian dari realitas hidupnya. Dalam kapasitasnya untuk mengalami semua itu, manusia juga memiliki kemampuan inheren untuk memilah-milah pelbagai gerakan yang muncul dalam batinnya, sehingga ia dapat memilih yang lebih membawanya pada daya Sang Transenden. Ini tentu saja terkait dengan dimensi intelektualnya.
  4. Dimensi intelektual menunjuk pada kapasitas manusia untuk menggunakan nalarnya untuk menangkap, memahami, dan membeda-bedakan simpang-siur gejala yang membentuk realitas kehidupannya. Daya intelektual menjadikan manusia sanggup untuk membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah. Kesanggupan ini hanya akan menjadi semakin tajam apabila dilengkapi dengan kedalaman penguasaan ilmu-ilmu “sekuler”, entah itu politik, ekonomi, hukum, psikologi, teknologi, informatika, matematika, dan lain-lain. Lugasnya, kedalaman intelektual adalah bagian tak terpisahkan dari iman.
  5. Dimensi korporeal menunjuk pada kenyataan bahwa eksistensi manusia di dunia tak bisa dilepaskan dari tubuhnya. Dengan tubuhnya, manusia dapat mewujudkan gagasan, niat, dan rencana menjadi sebuah kenyataan. Persis karena itu, dimensi korporeal senantiasa melibatkan kehendak (will) manusia untuk membuat perwujudan konkret-riil dan kasat mata. Arah dari keterlibatan ragawi ini adalah perwujudan kebaikan bersama (common good) dalam masyarakat.
  6. Beriman niscaya melibatkan ketiga dimensi manusia itu secara utuh dan integral. Lalu, karena manusia adalah makhluk historis, beriman sebagai tindakan manusiawi tidak dapat dilepaskan dari tradisi yang dibentuk oleh pelbagai faktor yang muncul di sepanjang sungai sejarah. Tradisi beriman yang menjadi dasar dan roh dari USD sebagai Perguruan Tinggi Jesuit adalah Spiritualitas Ignasian. Spiritualitas ini lahir dari pengalaman mistik Ignasius Loyola. Dalam bingkai ini, beriman lalu dipahami sebagai “cara berada di dunia yang dibentuk oleh Spiritualitas Ignasian”. Singkatnya, ini bisa disebut sebagai “Cara Beriman Ignasian”.

 

Beriman di Dunia:

 

  1. Salah satu ciri dasar Spiritualitas Ignasian yang membentuk karakteristik pendidikan Jesuit adalah iman yang mengafirmasi kebaikan dunia. Dunia bukanlah tempat terkutuk, melainkan tempat ditemukannya rahmat. Dengan perkataan lain, dunia adalah tempat ditemukannya Allah yang mengomunikasikan diri-Nya sendiri kepada seluruh ciptaan dan lewat seluruh ciptaan. Karena Allah ditemukan di dunia, cara beriman Ignasian tidak menolak dunia. Sebaliknya, dunia mesti didekati dengan “rasa kagum” pada pelbagai gejala yang mungkin muncul dan membawa ciptaan pada kepenuhannya. Ini sering diungkapkan dengan ekspresi “Finding God in All Things”.
  2. Mengafirmasi kebaikan dunia bukan berarti sebuah cara pandang naif yang melihat dunia sebagai sebuah kesempurnaan. Justru sebaliknya, cara pandang yang ingin dikenakan oleh Cara Beriman Ignasian meliputi sebuah realisme yang mengakui bahwa dunia ditandai dengan macam-macam keretakan. Namun, itu tidak berarti bahwa dunia harus dihancurkan. Bukan pula alasan untuk melarikan diri dari dunia. Model beriman “apokaliptik”, yang meyakini bahwa dunia harus terlebih dahulu dihancurkan sebelum dibangun kembali, juga model beriman yang mengasingkan diri dari dunia tidaklah sesuai dengan Cara Beriman Ignasian.
  3. Cara Beriman Ignasian terarah pada transformasi dunia kehidupan manusia dan ciptaan. Akan tetapi, jalan yang ditempuh bukanlah penghancuran dunia, melainkan transformasi manusia menjadi aktor-aktor pembawa perubahan ke arah dunia yang semakin manusiawi, karena dalam kepenuhan kemanusiaanlah terpancar kemuliaan Allah. Sebagaimana dikatakan oleh Ignasius Loyola, semakin kebaikan manusiawi bersifat universal, semakin terpancar pula keilahian.

 

Panggilan untuk Terlibat:

 

  1. Cara Beriman Ignasian jelas bukanlah sebuah model beriman yang hanya menantikan pintu langit terbuka. Dalam Cara Beriman Ignasian, Allah yang diimani adalah Allah yang hadir secara aktif untuk menjadikan dunia semakin manusiawi, dan dengan itu semakin ilahi. Panggilan untuk terlibat dan berjerih-payah bersama Allah ini adalah unsur konstitutif dari Cara Beriman Ignasian. Terlibat secara aktif dalam persoalan-persoalan dunia bukan di luar iman dan spiritualitas. Justru sebaliknya, itu adalah bagian inti dari Cara Beriman Ignasian. Sebagaimana dikatakan oleh Hironimus Nadal, “Dunia adalah rumah kita”. Persis karena itu, setiap pribadi dipanggil untuk terlibat dalam segala carut-marut perkara yang mewarnai kehidupan manusia di dunia.
  2. Kesanggupan terlibat di dunia berarti secara sadar menjadikan pelbagai persoalan-persoalan dunia sebagai bagian integral dari kehidupan. Secara konkret, ini berarti memiliki solidaritas pada sesama yang menderita. Kalau ada sesama manusia yang belum bisa hidup secara layak, hal itu menyentuh hidupnya. Kalau ada sesama manusia yang belum bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik, hal itu turut menggelisahkannya. Kalau ada sesama yang keyakinan agamanya ditindas, hal itu menggerakkannya untuk terlibat membela. Solidaritas tidak hanya berarti merasakan kasihan. Solidaritas berarti komitmen sepenuh diri untuk memperjuangkan nasib sesamanya yang menderita.
  3. Dalam tataran hidup sehari-hari, kesanggupan untuk menjawab panggilan di dunia berarti kesungguhan untuk belajar memandang dunia sebagaimana Allah memandangnya, menangkap, memahami, dan bertindak di dunia sebagaimana Allah melakukannya. Apakah manusia bisa melakukan itu? Ya, karena manusia diciptakan sebagai citra Allah di dunia. Ini berarti manusia memiliki kemampuan dalam dirinya untuk menghadirkan kebaikan Allah di dunia, meskipun tidak secara penuh. Kemampuan inilah yang memungkinkan manusia sepenuhnya terlibat dalam gerak Allah di dunia.

 

Prinsip-prinsip Dasar Keterlibatan:

 

  1. Dalam Cara Beriman Ignasian, keterlibatan di dunia diwarnai oleh tiga prinsip dasar, yaitu (1) Ad Maiorem Dei Gloriam, (2) Semangat Magis, dan (3) Opsi Keberpihakan pada yang miskin dan tersingkir.
  2. Ad Maiorem Dei Gloriam berarti Demi Kemuliaan Allah yang Semakin Besar. Ini bisa juga diartikan “Demi Semakin Dimuliakannya Nama Allah”. Prinsip ini menegaskan bahwa motivasi keterlibatan bukanlah mengejar kemuliaan pribadi (self-glory). Keterlibatan bersumber dari pengalaman akan Allah yang mencintai kita dengan segala keberdosaan kita. Kesadaran akan cinta Allah yang tanpa syarat melahirkan rasa syukur. Rasa syukur menggerakkan untuk mencintai dan mengabdi Allah di dunia, sehingga nama-Nya semakin dimuliakan oleh sesama yang dilayani.
  3. Semangat Magis berarti kesanggupan dan kesungguhan untuk mengejar keunggulan dalam segala bentuk keterlibatan. Panggilan untuk terlibat dalam gerak Allah di dunia tidak akan terwujud tanpa kompetensi dan kecerdikan yang unggul dalam “logika, cara pikir, dan strategi” duniawi. Itulah mengapa kita dituntut untuk memiliki keunggulan dalam bidang-bidang ilmu yang kita dalami, entah itu politik, diplomasi, ekonomi, hukum, teknik, matematika, kepemimpinan, manajemen, dan lain-lain. Lugasnya, spiritualitas Ignasian menuntut kesanggupan untuk menjadi unggul dalam bidang-bidang ilmu duniawi. Tanpa itu, tidak akan terjadi perubahan. Sebaliknya, kita hanya akan mudah ikut arus populer di dunia karena tidak sanggup berpikir kritis. Sekali lagi, keunggulan dalam bidang ilmu duniawi ini bukan untuk mengejar prestasi pribadi. Itu semata-mata adalah sarana yang secara sadar dipilih untuk menjawab panggilan terlibat di dunia.
  4. Opsi keberpihakan kepada kaum miskin dan tersingkir menegaskan bahwa keterlibatan kita dimaksudkan pertama-tama untuk mengangkat kehidupan mereka yang paling dirugikan oleh sistem, struktur, kebijakan, dan kecenderungan kultural. Mereka adalah kaum miskin, pengungsi, korban intoleransi, korban pelanggaran HAM, dan lain-lain. Opsi keberpihakan kepada mereka menuntut lebih dari tindakan karitatif. Opsi keberpihakan kepada mereka berarti kesanggupan untuk memperjuangkan transformasi sistem, struktur, kebijakan, dan kecenderungan kultural.

 

Discernment sebagai Cara Bertindak Pribadi dan Bersama:

 

  1. Dalam Cara Beriman Ignasian, discernment adalah metode pengambilan keputusan yang dipilih secara sadar untuk terlibat secara penuh di dunia. Discernment mengandaikan kepekaan manusia pada pelbagai macam perasaan, pikiran, dan keinginan (feelings, thoughts, and desires) yang memenuhi ruang batinnya. Manusia yang melakukan discernment mampu menangkap, memilah-milah, serta memilih perasaan, pikiran, dan keinginan yang mengisi realitas batinnya, sehingga ia hanya mengikuti yang lebih membawanya pada tujuan ia diciptakan.
  2. Discernment tidak hanya dibuat pada tataran individu, tetapi juga dalam kebersamaan. Untuk itu, dibutuhkan kesanggupan untuk tidak hanya menangkap gerak batinnya pribadi, tetapi juga untuk mendengarkan bagaimana Roh Allah berkarya dalam diri pribadi lain. Kesungguhan dalam mendengarkan pribadi lain menjadi kunci, karena itu memaksa orang untuk keluar dari dirinya sendiri. Hanya dengan keluar dari dirinya, orang dapat melaksanakan kehendak Allah.

 

Beriman: Berpolitik Secara Kritis

 

  1. Dalam pandangan populer, politik acapkali dipahami sebagai segala cara yang perlu dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan negara. Pandangan ini jelas menyimpang dari makna dasar politik. Secara sederhana, politik berarti segala usaha untuk menata kehidupan bersama, agar dapat semakin memberikan kebaikan bagi semua. Definisi ini jelas selaras dengan pemahaman bahwa beriman berarti cara berada di dunia yang dibentuk oleh gerak Allah untuk menjadikan dunia semakin manusiawi. Oleh karena itu, beriman dan berpolitik bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan dua hal yang amat dekat. Keduanya sama-sama merupakan upaya untuk menghadirkan kebaikan yang semakin universal dalam kehidupan bersama.
  2. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa ajaran-ajaran agama dapat begitu saja diterapkan dalam politik. Agama per definisi menyangkut sesuatu yang absolut dan partikular, sedangkan politik per definisi menyangkut perkara-perkara relatif dan umum. Serta-merta menerapkan ajaran agama dalam politik berarti menyingkirkan mereka yang berkeyakinan berbeda. Peran agama adalah memberikan pedoman dan nilai-nilai universal kehidupan. Ini perlu diterjemahkan ke dalam bahasa yang mampu diterima oleh semua. Karena hanya dengan itu, politik dapat sungguh menjadi sarana mewujudkan perdamaian dan keadilan di dunia.

 

Keterlibatan Kita:

 

  1. Bentuk keterlibatan seperti apakah dan pesan apakah yang perlu kita bawa sebagai mahasiswa USD kepada masyarakat Indonesia saat ini? Mari kita mencoba melakukan discernment dalam kebersamaan melalui dialog tiga putaran.

 

catatan pembicaraan yang disampaikan dalam Pertemuan I kegiatan Pendidikan Politik Mahasiswa USD di Arrupe Huis, Pusat Studi Lingkungan USD, 28 Februari 2019.

Romo H Angga Indraswara, SJ, B.A. M.Hum.

(Dosen Prodi Ekonomi Fak Ekonomi USD)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *