Beriman Dalam Angkringan

BERIMAN DALAM ANGKRINGAN

Esai reflektif tentang iman dan hak asasi manusia

Oleh: Andreas Rahardjo Adi Baskoro

Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

 

Prolog

Tragedi kemanusiaan tengah melanda kita dewasa ini. Berbagai peristiwa terjadi di berbagai penjuru dunia, mulai dari bencana alam hingga aksi terorisme yang dilakukan oleh sejumlah kelompok puritan. Pada tanggal 25 April lalu, Nepal ditimpa bencana gempa bumi yang menewaskan lebih dari 8000 jiwa.[1] Tujuh bulan kemudian, pada tanggal 13 November 2015, Paris diserang oleh kelompok teroris ISIS yang menewaskan setidaknya 128 korban jiwa.[2] Kedua tragedi tersebut, bencana alam dan aksi terorisme, sama-sama menimbulkan korban jiwa. Keduanya sama-sama menimbulkan simpati dari berbagai penjuru dunia. Namun bencana alam tidak dilakukan oleh manusia. Hal yang ironis adalah, aksi terorisme dilakukan oleh manusia secara sadar dan penuh tanggung-jawab.

Saya tidak memuji para pelaku terorisme sebagai orang-orang yang bertanggung-jawab secara moral. Saya yakin mereka akan lulus dengan nilai A dalam mata kuliah Filsafat Moral. Namun praktek mereka nol besar. Mereka bertanggung-jawab dengan secara sadar dan nekat (saya tidak rela menyebut mereka ‘rela’ mengorbankan diri) mengorbankan diri mereka atas nama kebenaran yang mereka angkat, namun mereka sama sekali tidak bertanggung-jawab atas nama moral dan humanisme. Mereka tidak mengenal peri kemanusiaan. Semua hal itu menjadi mungkin atas nama radikalisme agama yang mereka anut. Inilah tragedi kemanusiaan yang sesungguhnya. Iman yang semestinya menyelamatkan, justru membunuh nyawa orang-orang yang tak berdosa.

Paus Fransiskus, pemimpin umat Katolik Roma dengan tegas menyatakan: ISIS bukan Islam. Hal ini disampaikan pula oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignasius Suharyo, Pr., yang menegaskan kepada seluruh umat beriman untuk tidak mengkaitkan ISIS dengan Islam.[3] Pernyataan Paus Fransiskus dan Mgr. Ignasius Suharyo tersebut menyimpan satu pesan yang sangat dalam: iman seseorang mencerminkan bagaimana seorang manusia memperlakukan sesamanya. Begitu pula sebaliknya, cara kita memperlakukan orang lain mencerminkan iman kepercayaan kita. Itulah sebabnya mengapa orang-orang yang sungguh-sungguh dekat dengan Tuhan memiliki sikap yang baik terhadap sesama, sebab mereka mengamalkan iman kepercayaan mereka dalam hidup sehari-hari. Maka merupakan suatu hal yang sangat ironis ketika para pelaku terorisme mengaku diri sebagai umat yang beriman. Hal ini menunjukkan satu fenomena yang sangat memprihatinkan: degradasi iman yang sangat signifikan. Betapa hak asasi manusia diinjak-injak oleh mereka yang justru mengaku diri beragama dan beriman. Sebuah pertanyaan pun muncul kemudian: benarkah mereka (ISIS dan para pelaku terorisme dan penganut radikalisme) adalah orang-orang yang beriman? Di tengah kuatnya ancaman radikalisme, masihkah kita percaya bahwa iman kita akan menyelamatkan kita?

 

Iman dan sesama

Sebelum melangkah lebih jauh, marilah kita menggali terlebih dahulu arti iman dalam hubungannya dengan Tuhan dan manusia. Selama ini kita mengartikan iman sebagai bentuk hubungan kita dengan Tuhan sang empunya kehidupan. Hal ini benar, namun belum sepenuhnya lengkap. Iman tak hanya melibatkan hubungan kita dengan Tuhan, melainkan sesama kita manusia.

Iman merupakan hubungan timbal kita dengan Tuhan. Cara manusia dalam menjawab wahyu dari Tuhan adalah pengertian mendasar dari iman. Tuhan, sebutan yang kita berikan untuk Dia yang menciptakan alam semesta, memiliki cara yang berbeda-beda untuk berkomunikasi dengan ciptaan-Nya. Tuhan berkomunikasi dengan manusia di India melalui pencerahan yang diberikan oleh-Nya kepada Siddharta Gautama, yang menjadikannya seorang Buddha, ‘Yang Tercerahkan’. Tuhan berkomunikasi dengan manusia di Mesopotamia melalui pesan-Nya kepada Abraham yang mengantarkannya ke tanah terjanji, yang kemudian melahirkan pengikut Yahudi, Katolik, Islam dan Protestan. Wahyu Allah yang berbeda-beda itu kemudian dijawab dengan cara yang berbeda-beda pula dan melahirkan beragam iman kepercayaan di berbagai penjuru dunia. Inilah pengertian dasar iman, tentang cara manusia menjawab wahyu Tuhan kepada mereka. Hal ini menunjukkan esensi pertama dari iman manusia: sebuah pralambang hubungan vertikal  antara Tuhan dan manusia.

Iman, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, belumlah lengkap apabila ditafsirkan hanya sebagai hubungan antara manusia dengan Tuhan. Dalam hubungannya dengan Tuhan berdasarkan wahyu yang diimaninya (ada banyak bentuk wahyu yang disampaikan oleh Tuhan, tergantung waktu, tempat, situasi dan kondisi: Tuhan mewahyukan diri kepada Sidharta Gautama di India, Nabi Muhammad di Arab, Abraham di tanah Mesopotamia, dsb.; hal ini memberikan banyak pilihan kepada manusia untuk memilih wahyu mana dan iman macam apa yang akan mereka hidupi), manusia melakukan hubungan vertikal dengan sang pencipta. Dalam hubungan ini muncullah wahyu Tuhan tentang bagaimana manusia semestinya hidup dengan sesama mereka. Prinsip superioritas manusia sebagai makhluk ciptaan tertinggi muncul di agama samawi, di mana Tuhan menciptakan manusia untuk menguasai langit dan bumi beserta segala isinya, termasuk hewan dan tanaman (yang notabene merupakan makhluk ciptaan Tuhan pula di samping manusia), sehingga manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan hewan; sementara itu, prinsip kesetaraan muncul di agama Budha di mana manusia setara dengan segala ciptaan yang ada di alam semesta, termasuk hewan di sekitarnya (itulah sebabnya dalam paham reinkarnasi manusia dapat terlahir kembali sebagai ‘seorang’ hewan atau manusia, tergantung pada karma yang mereka peroleh seumur hidup mereka). Terlepas dari kedua prinsip tersebut, sang pencipta memberikan arahan yang sama dalam semua wahyu yang disampaikannya di semua iman kepercayaan: seluruh umat manusia memiliki derajat yang sama, tanpa dibedakan oleh suatu hal apapun. Di sinilah hubungan horizontal antar manusia pun muncul. Tuhan menciptakan manusia untuk hidup bersama dan saling mengasihi satu sama lain, dengan derajat yang sama di antara mereka. Kesamaan derajat ini pun menimbulkan konsekuensi logis akan kesamaan hak dan kewajiban sebagai umat manusia. Hak inilah yang kemudian disebut sebagai hak asasi manusia, hak-hak yang dimiliki oleh manusia sejak (bahkan sebelum) mereka lahir di dunia, mulai dari hak hidup, hak berpendapat, hingga hak kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Declaration of Human Rights.[4] Pentingnya gagasan atas hak asasi manusia pun menjadi sorotan Gereja sepanjang sejarah yang tertuang dalam ajaran sosial Gereja, secara khusus dalam sejumlah ensiklik dan dokumen Gereja seperti Gaudium et Spes dan Redemptor Hominis.[5] Dalam hak-hak tersebut tersimpan kewajiban yang sama: manusia wajib menghargai hak asasi sesama mereka, satu sama lain, tanpa terkecuali. Di sinilah esensi kedua dari iman muncul: sebuah perwujudan hubungan vertikal dengan Tuhan melalui hubungan horizontal dengan sesama manusia.

Iman yang lengkap memiliki esensi vertikal dan horizontal. Tuhan memberikan rambu-rambu tentang bagaimana kita manusia hidup bersama dengan sesama kita, tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain, satu sama lain. Rambu-rambu itulah yang tertuang dalam berbagai ajaran di berbagai agama, mulai dari Sabda Bahagia yang diajarkan oleh Yesus Kristus hingga Dharma yang diajarkan oleh Buddha Gautama. Itulah sebabnya iman seseorang menentukan bagaimana seseorang memperlakukan orang lain. Hal ini nyata terlihat dalam hidup keseharian kita, mulai dari hal yang sederhana hingga hal yang rumit dan kompleks. Mari kita lihat para penganut Buddha. Para penganut Buddha memegang teguh prinsip kesetaraan antar makhluk hidup, baik manusia maupun hewan. Hal ini terwujud dalam sikap mereka untuk hidup sebagai seorang vegetarian. Mereka menghargai hak hidup binatang yang mereka pandang setara dengan hidup yang mereka miliki. Begitu juga dengan penganut Katolik, di mana Yesus mengajarkan kepada kita umat manusia untuk saling mengasihi satu sama lain. “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Luk. 10:27) Bahkan lebih dari itu, “Kasihilah musuhmu” (Mat. 5:44) Hal ini menunjukkan satu hal: kita diminta bukan hanya untuk menghormati hak asasi sesama yang berbuat baik kepada kita, melainkan pula hak asasi musuh kita! Hal ini menegaskan pula betapa iman berkaitan erat dengan hubungan kita dengan sesama manusia. Dengan demikian, iman kita menjamin hak asasi kita sebagai seorang manusia, dan dengan demikian secara otomatis memberikan jaminan terhadap hak asasi sesama kita umat manusia.

Maka terjawablah pertanyaan awal kita di tulisan ini. ISIS jelas bukan orang-orang beriman, atau lebih tepatnya, mereka yang menghidupi imannya dengan cara yang salah. Maka jika kita tidak lagi menghormati dan menghargai harkat dan martabat manusia, terlebih hak asasi sesama kita, maka kita telah menghidupi iman yang salah; atau setidaknya kita telah menghidupi iman kita, dengan cara yang salah.

 

Beriman dalam angkringan

Sebagaimana telah disebutkan di atas, dunia kita tengah dilanda tragedi kemanusiaan yang tak kunjung padam. Di tengah berbagai tragedi tersebut, radikalisme agama menjadi sebuah tragedi yang sangat memilukan. Berbagai cara telah ditempuh oleh berbagai pihak di berbagai penjuru dunia untuk mengatasi radikalisme agama, mulai dari penanaman nilai pluralisme dalam pendidikan inter religiositas, pembuatan regulasi terkait kehidupan umat beragama, hingga dialog lintas iman. Dalam berbagai upaya tersebut, dialog lintas iman merupakan cara yang dipandang tepat dalam mencegah dan menanggulangi bahaya radikalisme agama. Hal yang sama disampaikan oleh Paus Fransiskus, bahwa dialog lintas iman (interreligious dialogue) merupakan usaha yang paling tepat untuk melawan aksi terorisme.[6] Campus Ministry Universitas Sanata Dharma memiliki cara yang unik dalam melakukan dialog lintas iman tersebut: Angkringan Lintas Iman.

Angkringan lintas Iman adalah kegiatan dialog lintas iman yang diselenggarakan oleh Campus Ministry Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Melalui pendekatan budaya lokal, dialog lintas iman diselenggarakan dalam konsep angkringan di mana semua orang bebas mengutarakan pendapat sembari mengisi perut mereka dan melepas dahaga. Penulis pernah mengikuti kegiatan tersebut pada akhir tahun 2014. Kegiatan tersebut diawali dengan berjalan kaki dari Pura Jagatnata di Banguntapan Bantul hingga Kapel Belarminus Mrican, yang dilanjutkan dengan santap bersama di angkringan sembari berdialog bersama dengan sejumlah penggiat lintas iman dari komunitas Gusdurian. Konsep dialog angkringan merupakan konsep yang sangat menarik dan tepat sasaran, karena angkringan identik dengan kebersamaan dan kerukunan. Di sinilah satu gagasan muncul kemudian: angkringan sebagai gambaran dunia yang semestinya kita tinggali.

Angkringan layaknya sebuah kapel, sebuah Gereja kecil. Angkringan mempertemukan berbagai orang tanpa mengenal suku, agama, ras dan kepercayaan. Angkringan mempertemukan orang bukan dengan iman yang sama, melainkan rasa lapar dan keinginan untuk bersosialisasi. Kita tidak memperdebatkan iman kita di angkringan, melainkan saling bertegur sapa, makan, minum, serta berbagi kasih dan kisah. Di sinilah gagasan lain muncul: Tuhan ada dalam angkringan. Tuhan ada dalam setiap bungkus nasi kucing yang mempersatukan kita. Tuhan ada dalam setiap gelas teh hangat dan jahe panas yang menyeduh tawa dan canda kita. Tuhan ada dalam gorengan yang menemani kita dalam bertegur-sapa. Tuhan ada, dalam angkringan.

Tuhan ada dalam angkringan? Omong kosong macam apa itu? Mungkin gagasan itu terdengar absurd, dan pernyataan di atas terlalu dramatis untuk disampaikan melalui kata-kata. Namun marilah kita sedikit bernalar. Kembali pada esensi dasar iman, iman terwujudkan dalam hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia dan dalam hubungan horizontal antar sesama manusia. Iman tidak lengkap tanpa sikap saling menghargai dan saling mengasihi antar sesama manusia, dan dari sebab itu iman memberi jaminan terhadap hak asasi kita dan menjamin hak asasi sesama kita umat manusia. Secara sederhana, orang beriman bersikap rukun terhadap sesama, dan kerukunan itu hadir secara masif dalam angkringan. Bahkan perampok sekalipun dapat makan dengan lega dan bahagia di angkringan, tanpa seorang pun mempertanyakan dosa yang telah dia lakukan. Jangankan dosa, agama dan kepercayaan pun belum tentu dipertanyakan. Di sinilah prinsip kesetaraan muncul, dan angkringan pun menjadi sebuah utopia nyata kehidupan antar umat beragama. Sebuah tempat di mana semua orang dapat berkumpul dan saling bertegur-sapa, tanpa mengenal perbedaan.

Dalam gagasan menemukan Tuhan dalam angkringan, betapa indahnya dunia bila semua orang bersikap sebagaimana kita kumpul dan srawung di angkringan. Sayang, tidak ada angkringan di Paris. Tidak ada angkringan di Irak, ataupun Suriah. Meski demikian, kita bisa menemukan Tuhan di mana pun kita berada. Tuhan tak hanya ada di angkringan. Tuhan ada di mana-mana. Lebih dari itu, Tuhan ada dalam hati kita manusia. Di situlah letak kebenaran mengambil alih segala yang perlu kita lakukan untuk mewujudkan perdamaian dunia, secara khusus dalam mengatasi radikalisme agama. Hal yang sama pun berlaku di Paris, Irak, Suriah, juga di belahan dunia manapun. Dengan memperlakukan sesama manusia secara adil dan berperikemanusiaan, kita telah berjumpa dengan Tuhan dalam hidup kita sehari-hari.

 

Epilog

Tulisan ini akan diakhiri dengan mengawali sebuah pepatah dari orang Jawa: urip mung mampir ngombe. Hidup kita selayaknya orang yang mampir minum di angkringan. Janganlah kita sia-siakan kesempatan hidup kita yang hanya satu kali saja untuk menjatuhkan dan menginjak-injak harkat dan martabat sesama kita, terlebih hak asasi sesama kita manusia. Memang tidak ada angkringan di Paris, Irak, ataupun Suriah. Tapi semua orang memiliki pengalaman yang sama dengan yang kita alami di angkringan: mencintai dan dicintai. Cinta kasih, sebuah nilai yang universal dan merangkul seluruh umat manusia dalam seluruh kepercayaan, baik theis maupun atheis, merupakan jalan kebenaran dan hidup yang mampu menyelamatkan kita dari ancaman radikalisme.

Akhir kata, janganlah kita merasa benci dengan para pelaku terorisme, radikalisme, maupun puritanisme. Marilah kita merasa iba dengan mereka yang dibutakan oleh rasa benci dan kebenaran yang anarki. Doakan mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Ingat, sebentar lagi Natal akan tiba. Yesus datang bukan untuk menyelamatkan orang suci, melainkan orang berdosa.

Sleman, 10 Desember 2015


Referensi

http://time.com/3855124/nepal-new-earthquake-7-4-magnitude/

http://edition.cnn.com/2015/11/13/world/paris-shooting/

http://nasional.kompas.com/read/2014/12/25/15094911/Uskup.Agung.ISIS.Bukan.Islam.yang.Saya.Kenal

http://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/

http://www.huffingtonpost.com/sebastien-maillard/pope-francis-africa_b_8713008.html

http://www.imankatolik.or.id/ajaran_sosial_gereja.html

[1] http://time.com/3855124/nepal-new-earthquake-7-4-magnitude/

[2] http://edition.cnn.com/2015/11/13/world/paris-shooting/

[3] http://nasional.kompas.com/read/2014/12/25/15094911/Uskup.Agung.ISIS.Bukan.Islam.yang.Saya.Kenal

[4] http://www.un.org/en/universal-declaration-human-rights/

[5] http://www.imankatolik.or.id/ajaran_sosial_gereja.html

[6] http://www.huffingtonpost.com/sebastien-maillard/pope-francis-africa_b_8713008.html

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *