Berdialog dan Bersolidaritas di Angkringan Lintas Iman

Angkringan Lintas Iman adalah kegiatan tahunan Campus Ministry untuk merefleksikan panggilan umat beriman di tengah situasi sosial kemasyarakatan. Kegiatan ini pertama kali diadakan pada tahun 2013. Digawangi oleh para anggota komunitas-komunitas mahasiswa lintas agama, yaitu Kompai (komunitas Paingan), FKM Budi Utama (Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim),  Cana Community, JKMK (Jalinan Kasih Mahasiswa Katolik), KMBK (Keluarga Mahasiswa Buddhist dan Konghucu), EMC (English Mass Community), kegiatan ini menjadi ajang bertemunya keprihatinan sosial dan panggilan iman diantara kaum muda terpelajar di Sanata Dharma.

Mengapa ‘angkringan’? Bagi masyarakat Jogja dan sekitarnya, angkringan bukan sekedar tempat mencari makanan murah khas rakyat. Angkringan adalah tempat dimana terjadi dialog akan situasi sehari-hari masyarakat. Tidak hanya sekedar ‘tempat’, angkringan juga bisa dimaknai sebagai ‘saat’, dimana setiap orang punya kesempatan yang sama untuk mengungkapkan keprihatinannya, tanpa memandang status sosial, tanpa protokoler, tanpa merasa takut untuk dipandang aneh (wagu) ataupun tabu (saru). Semangat ‘angkringan’ inilah yang menginspirasi komunitas lintas iman di Sanata Dharma untuk bertemu dan  bersama-sama mendialogkan keprihatinan hidup bermasyarakat.

BERITA

Tahun 2014 ini, kegiatan Angkringan Lintas Iman dilaksanakan menjelang hari raya Idul Adha dan tepat di hari perayaan St. Fransiskus Asisi. Idul Adha adalah momentum dimana umat muslim merefleksikan semangat kurban (qurban) yang diturunkan dari kisah Nabi Ibrahim. Qurb (arab: قرب  )  berarti dekat, oleh karenanya berkurban berarti memberikan yang terbaik yang dimilikinya untuk mendekatkan diri kepada Allah.  Ritual kurban pada akhirnya tidak hanya bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan (Jalaluddin Rakhmat, 1995). Semangat hari raya qurban adalah semangat iman yang teguh kepada Allah dan solidaritas kepada manusia.

Sementara itu, pesta perayaan St. Fransiskus Asisi (4 Oktober) mengajak umat Katolik untuk merefleksikan semangat dialog yang diperjuangkan oleh sang Santo. Fransiskus Asisi adalah seorang pewarta yang terlibat dialog mendalam tentang iman Kristen-Islam dengan Sultan Malik al-Kamil di tengah terjadinya Perang Salib (1219).  Memang, setelah pertemuan itu Perang Salib terus berkecamuk dengan hebatnya. Namun pertemuan antara Santo dan Sultan itu menciptakan sebuah hubungan yang baik, bagai sebuah oase di tengah padang gurun peperangan dan sebuah embrio bagi munculnya dialog lintas iman  (Paul Moses, 2013).  Keduanya saling menghormati dan bahkan mengagumi. Sultan terpesona akan kesederhanaan Fransiskus. Beliau mau mendengar khotbah Fransiskus tentang Kristus; meminta Fransiskus mendoakannya agar Tuhan menunjukkan iman yang benar baginya (Sultan). Sultan menjamin keselamatan Fransiskus dalam perjalanan kembali ke perkemahan pasukan Perang Salib. Sementara Fransiskus menimba kekayaan kaum Muslim dalam hal penghayatan iman akan Allah yang sungguh transenden ; dan dalam begitu tingginya ekspresi penghormatan mereka kepada Allah.

Menilik dua momentum tersebut di atas, tidak berlebihan bila Angkringan Lintas Iman diharapkan pula menjadi ‘tempat’ dan ‘saat’ untuk berdialog dan bersolidaritas. Melalui kegiatan sederhana ini, umat beriman, khususnya mereka yang muda dan terpelajar, diajak untuk saling mendialogkan keprihatinan yang dirasakan bersama, dan mendorong upaya nyata bersolidaritas dengan sesama.

Dalam konteks bangsa kita saat ini, jelas bahwa ketidakadilan sosial, kemiskinan struktural, korupsi, perusakan lingkungan dan juga kekerasan adalah situasi nyata yang dirasakan oleh semua umat beriman di Indonesia. Semakin orang beriman, semakin nampak jelas tantangan situasi di atas dihadapkan kepadanya. Maka menjadi penting bagaimana sesama umat beriman mampu menanggapi situasi tersebut dengan kesadaran bahwa kita berbagi ruang hidup yang sama,  dengan segala beban dan tanggung jawab sosial yang ada di dalamnya. Sugguhkah kita beriman jika masih menutup diri pada ketidakadilan? Sudahkah kita beriman jika masih melakukan kekerasan dan penindasan? Benarkah kita beriman jika tidak menjaga alam yang dianugerahkan oleh Tuhan ? Ataukah kita justru menggunakan topeng keimanan untuk ikut bermain sebagai pelaku ketidakadilan, pemiskinan, korupsi, perusakan lingkungan dan kekerasan?

Oleh karenanya upaya refleksi dan dialog menjadi penting untuk dikembangkan secara bersama. Agar ruang hidup yang ditempati bersama ini benar-benar bisa menjadi tempat kita menggenapi kepenuhan sebagai manusia; semakin beriman kepada Tuhan, sekaligus semakin bersolidaritas pada sesama.

Menutup catatan singkat ini, saya  teringat sebuat pepatah lama…

Aku mencari Tuhan, Dia tak pernah kudapatkan

Aku mencari nyawa, justru malah aku kehilangan dia

Aku mencari saudara, dan kudapati semuanya di sana

 

Antonius F. Harsanto

Campus Ministry Sanata Dharma

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

2 thoughts on “Berdialog dan Bersolidaritas di Angkringan Lintas Iman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *