Angkringan Lintas Iman: Perjuangan Manusia Membangun Kota

“Intoleransi itu politis”, ujar pemuda berambut gondrong pada Sabtu, 29 Oktober 2016 lalu. Dialah Supriyadi pemuda dari Kampung Rejowinangun, Kotagede, Jogjakarta ketika hadir  sebagai pembicara pada Angkringan Lintas Iman di Pendopo PGSD Universitas Sanata Dharma.

Sebagai respon dari maraknya aksi intoleransi di Jogja akhir-akhir ini, Campus Ministry Sanata Dharma lewat acara tahunannya Angkringan Lintas Iman pada tahun ini mengangkat tema Membangun Kota Toleran.

Mas Supri, begitu sapaan akrabnya, bercerita tentang bagaimana dia membangun toleransi di kampungnya. Melalui komunitas yang dibentuknya, Angkatan Muda Senopati, Mas Supri selalu berusaha melibatkan pemuda di Kampung Rejowinangun untuk mengadakan berbagai macam kegiatan nasionalisme. Berbagai macam kegiatan diinisiasinya seperti Kartini Award, Upacara 17 Agustusan dengan mengenakan sorjan, Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, dan berbagai macam bentuk kegiatan nasionalisme lainnya.

“Kegiatan-kegiatan nasionalisme penting untuk melawan aksi intoleransi. Karena intoleransi jangan dilawan dengan hal yang sama”, tegasnya.

“Dan toleransi itu mengenai cara pandang kita”, imbuh Ahmad Ramdhon yang juga hadir di tengah-tengah peserta diskusi Angkringan Lintas Iman “Membangun Kota Toleran” yang dimoderatori oleh Risang Baskara, M.Hum dan dihadiri oleh perwakilian komunitas keagamaan yang ada di Sanata Dharma serta dari UNIKA Soegijapranata.

Ahmad Ramdhon, seorang sosiolog FISIP Universitas Sebelas Maret yang juga penggiat komunitas Kampungnesia  komunitas yang bertugas mendokumentasikan dan mengarsipkan kampung, berkata jika kita mendiskusikan kota maka kita perlu menjadi kota itu sendiri. “Kampung adalah tempat orang tumbuh dan membangun solidaritas”. Sosiolog yang selama sepuluh tahun terakhir ini menekuni bidang perkotaan dan kampung ini mengatakan bahwa selalu ada cerita folklore yang berkembang tentang dan di dalam kampung yang perlu dijaga karena cerita tersebut mengajarkan tentang kearifan lokal. “Bentuk’penjagaan’itu adalah dengan pendokumentasian dan pengarsipan lalu membagikannya melalui media sosial seperti yang dilakukan kampungnesia”, ujarnya.

Romo In Nugroho Budisantoso, S.J.,M.Hum.,M.P.P yang menjadi pembicara di sesi II menjelaskan bahwa kita tidak akan mampu mewujudkan toleransi jika hanya dibicarakan semata. Toleransi adalah buah dari pertemuan-pertemuan, dari banyaknya silaturahim yang dibangun, dan dari banyaknya berjejaring dengan siapapun.

“Orang muda kebanyakan menjadi kurang terhubung dan terkoneksi dengan kondisi lingkungan sekitar karena mereka berada di dalam sistem pendidikan yang mencerabut manusia dari alamnya”, tutur Romo In, ketika ditanya mengenai kondisi orang muda dewasa ini. Hal ini lah yang menginspirasi Romo In untuk mengadakan sebuah kegiatan yang bertujuan mengumpulkan kampus dan kampung dalam satu forum khusus. Forum Kampus Kumpul Kampung ini bertujuan untuk memperjuangan mimpi bersama. Mimpi membangun kota sebagai sebuah tempat tinggal yang baik bagi semua manusia.

Acara hari itu ditutup dengan melakukan doa malam di depan patung Driyarkara di Kampus II Universitas Sanata Dharma dengan sebelumnya didahului dengan laku bisu dari pelataran parkir Kampus I menuju depan patung Driyarkara di Kampus II Universitas Sanata Dharma.

Kegiatan ini diisi dengan sharing singkat lalu dilanjutkan dengan mendaraskan doa yang dipimpin secara bergantian dari teman-teman Kristen, Hindu, Muslim, dan Katolik. Refleksi singkat diberikan oleh Romo Patrisius Mutiara Andalas, S.J., S.S., S.T.D., agar segenap teman-teman yang hadir mampu menyatukan harapan dalam imaji tentang ruang hidup bersama. Tentang kota yang toleran.

Video dibuat oleh Yohanes Budi dari CM SCU

(Cahyok, 4 Nov 16)

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *