Aksi Kamisan: Keadilan Dalam Kebisuan

AKSI KAMISAN: KEADILAN DALAM KEBISUAN
Oleh: Plantino Pransiscus Sianturi (Juara III Lomba Esai SALT 2015)
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

 

Jika suatu saat saya ditanya oleh anak saya, tentang apa itu cinta? Saya akan sebut sebuah nama, Maria Catarina Sumarsih. Seorang ibu yang masih mencari –keadilan atas kematian- anaknya, yang kemudian kematian anaknya yang bernama wawan tersebut dikenal sebagai tragedi semanggi I.

Dalam konteks kerinduan penulis pada keadilan yang sedikit pudar di negeri ini, terdapat sebuah harapan normatif yang terdapat dalam berbagai norma dan kaidah seperti norma agama, moral dan hukum. Hal itu dipakai untuk mengontrol, mengendalikan, bahkan mengoreksi kelemahan-kelemahan eksistensialnya kita sebagai manusia.

Sebelum melangkah lebih lanjut, penulis mengungkapkan alasan pribadi mengangkat tema ini. Sebagaimana dituturkan oleh buku Kesucian Politik: Agama dan Politik di tengah Krisis Kemanusiaan (2008), tragedi kemanusiaan 1998 menghidupkan kembali diskusi agama dan politik yang semula sudah dianggap final. Kesucian politik merupakan gugatan terhadap praktik komunitas agama dan politik yang dehumanitatif terhadap korban sebagai ciptaan Allah. Teologi politik merupakan kritik terhadap komunitas agama yang seringkali lamban, bahkan bungkam terhadap penderitaan korban yang dilakukan rezim politik kriminal.[1]

Dengan segala daya dan upaya, para korban pelanggaran hak asasi manusia telah berjuang dari waktu ke waktu, dari masa ke masa tanpa mengenal lelah. Namun kebenaran dan keadilan itu tak juga menyala, bahkan kian meredup. Segala artikulasi telah diungkap, negara tetap bebal dan bungkam. Di segala kegelapan dan keredupan itu, hari ini kembali korban menerjemahkan artikulasinya dengan segala harap, melalui diam dan berdiri termenung di pusat kekuasaan ini [istana Presiden], bersama segala simbol kedukaan kekelaman hak asasi manusia di negeri ini. Sebab kata tak lagi bermakna, mereka memberikan absensi bahasa.

Dalam perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia, terdapat sebuah pesona yang semakin lama semakin hilang, terlebih ketika hukum dan keadilan dikudeta. Terdapat 3 (tiga) hal pokok yang menyebabkan surutnya arus keadilan di negeri ini[2], yang pertama, penguasa memaksakan hukum yang tidak membawa kesejahteraan umum, melainkan hanya melayani kepentingan penguasa sendiri. Kedua, pembentuk hukum melampaui kewenangan yang dimilikinya, ketika ia tidak mampu menerjemahkan norma etika dalam produk hukum yang dibuatnya. Ketiga, hukum diterapkan pada masyarakat secara tidak sama.

Sejarah melesat seperti kilat. Suatu kejadian yang paling tragis sekali pun dalam sejarah suatu bangsa akan segera terkuburkan ketika esok hari telah muncul kejadian lain yang lebih baru. Satu bangsa menjadi seperti kumpulan orang-orang dengan ingatan-ingatan yang dangkal. Andai zaman tanpa penanda, akan sirna semua goresan-goresan yang telah diukir. Sebuah tragedi tragis masa lalu kian lapuk oleh gilasan waktu. Orang kini mulai acuh. Tak ada bandrol yang menentukan kemana jejak ini dibangun. Kejahatan direduksi menjadi statistik. Kesedihan dan luka tak pernah menjadi dorongan untuk membuka tabir kebenaran.

Aksi kamisan yang disimbolkan oleh payung hitam telah berlangsung lebih dari 8 tahun. Aksi ini dimulai oleh seorang ibu yang kehilangan anaknya pada tahun 1998, kegiatan yang mereka mulai sejak tahun 2007 tidak harus dilihat sebagai upaya yang terlambat, apabila melihat rentan waktu penembakan tersebut hingga aksi itu mulai digelar. Bukan keterlambatan mereka melakukan aksi, hanya saja pengingkaran negara dalam mencari solusi yang akhirnya bermuara pada lahirnya aksi. Ketika senja mulai menjemput matahari, setiap kaki mulai diinjakkan di depan istana negara, dengan payung hitam, mereka berkumpul. Tidak ada teriakkan ataupun orasi, tanpa agitasi. Beberapa memeluk hangat bingkai foto anaknya.

Aksi kamisan ini tidak hanya terjadi di indonesia, dengan nama yang berbeda dan tentu dengan sebab tragedi yang berbeda pula, yakni dikenal dengan Mothers Of The Plaza de Mayo. Setiap sore, yang dipelopori oleh ester careaga dan maria eugania blanco melakukan aksi diam atas protes terhadap pembunuhan terhadap anak-anak mereka oleh diktator junta militer argentina.[3] Hingga saat ini, ratusan orang masih melakukan aksi tersebut, dengan keteguhan yang bahkan beberapa dari mereka tak tahu persis keteguhan apa yang mereka miliki. Berbeda dengan aksi kamisan yang bersimbol payung hitam, ibu-ibu argentina ini menggunakan kain kerudung putih. Simbol duka.

Penulisan ini akan merujuk pada 3 hal pokok yang menjadi sebab pesona keadilan semakin pudar oleh Thomas Aquinas. Hal pertama seperti yang telah disebutkan sebelumnya, adalah mengenai penguasa memaksakan hukum yang tidak membawa kesejahteraan umum. Ini manifesto keteguhan dan kesabaran yang memparodikan sikap negara kepada mereka. Luntur secara perlahan dan akan semakin habis terkikis jika negara masih terus saja memalingkan wajah dan menutup telinganya. Suara mereka tak lagi melalui teriakan corong pengeras suara namun secara sarkastik telah bermetamorfosis dalam letihnya tatap mata dan tubuh-tubuh yang menahan lelah berdiri tepat di depan istana negara.

Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat Di Muka Umum Pada Ruang Terbuka (PERGUB 228). PERGUB 228 ini telah berlaku dan mengundang sejumlah caci oleh beberapa aktivis. PERGUB 228 ini diyakini sebagai sikap antikritik para penguasa. Pergub ini merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang telah mengikat pada setiap warga jakarta, namun dalam hal ini penulis memandang pembentukan pergub ini adalah pemaksaan penguasa yang kemudian dapat juga disebut sebagai “kekerasan yang diformalkan”, maka hal tersebut bukan hukum yang sesungguhnya.

PERGUB 228 ini memiliki konsideran dan juga bersumber dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Apabila PERGUB 228 merupakan turunan dari UU No. 9/1998 maka hal tersebut dinilai sangat terlambat dan dipaksakan. Aksi kamisan telah berlangsung selama 8 tahun, tidak ada pencegahan dan pelarangan yang bersumber dari UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat. Namun, pelarangan justru baru saja hadir pasca diterbitkannya PERGUB 228 tersebut. Sunggu ironis.

Penulisan ini, berdiri juga atas sebuah kredo: hukum memerlukan moralitas. Sebagai produk masyarakat, hukum merupakan wujud sintesa suara nurani tentang apa yang menjadi kehendak, rasa, cipta, tujuan hidup di masyarakat. Berkaitan dengan keberadaan hukum sebagai manifestasi suara nurani itulah maka berbicara tentang hukum tidak terlepas dari apa yang disebut moralitas. Selanjutnya, dalam tataran hak asasi manusia, penulisan ini lebih cenderung melihat bagaiman negara bungkam terhadap kasus-kasus kemanusiaan yang sekiranya telah mendapatkan desakan dari rakyat untuk diselesaikan, salah satunya melalui aksi kamisan.

Apabila melihat histori orde baru, maka tepat apa yang telah disampaikan oleh Machiavelli bahwa penguasa boleh menempuh berbagai trik, termasuk menghalalkan segala cara. Dalam bukunya yang berjudul Il Principe (sang raja), Machiacelli berpendapat bahwa hakikat negara adalah terselenggaranya ketertiban, keamanan, dan ketentraman[4]– yang kesemuanya merupakan sarana untuk mencapai kemakmuran bersama bagi semua rakyat sebagai tujuan tertinggi. Tujuan itu hanya dapat dicapai oleh pemerintahan yang mempunyai kewenangan absolut. Lebih lanjut Machiavelli berkata bahwa adanya negara itu adalah untuk kepentingan negara itu sendiri, maka seharusnya negara mengejar tujuan dan kepentingan sendiri dengan cara yang dianggapnya yang paling tepat, meski licik sekalipun.[5] Penerbitan PERGUB 228 ini kemudian memberikan jembatan kepada masa lalu, dimana hidupnya para kaum legalis klasik. Bahwa dalam pembentukan hukum menurut mereka, tidak perlu dipertanyakan motifnya, tidak perlu diketahui nilainya, dan kewajarannya. Masyarakat cukup mengikuti secara tertib, legal, pasti dan terkontrol oleh aturan tersebut.

Aksi Kamisan juga adalah simbol dari konsistensi mereka yang terampas, tersakiti dan babak belur di hajar oleh kekuasaan yang disalahgunakan. Namun di saat bersamaan masih tegar dan menyatakan tak akan mundur hingga negara mengambil sikap tegas dan terang. Ini adalah perayaan sepi yang merangkum potret kekerasan masa lalu yang tak bisa dibiarkan berlalu. Tentang sebuah masyarakat hari ini yang tak akan pernah bisa mengingkari fakta, jutaan saudaranya dibuntungi hak-haknya sebagai manusia.

Tindak serangan terhadap kemanusiaan oleh pemangku kekuasaan negara, tak mendapatkan pembenaran apapun meski ia dilandaskan pada soal perbedaan politik, sentimen rasial ataupun upaya melanggengkan legitimasi struktural kekuasaan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang kemudian dijabarkan secara eksplisit dalam Kovensi Hak-Hak Sipil dan Politik serta Kovensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, menjadi satu dari sedikit benteng yang melindungi seorang warga negara dari pencabutan haknya sebagai seorang manusia oleh kekuasaan negara.

Ratifikasi kedua kovenan hak asasi manusia di atas oleh Indonesia, seharusnya menjadi batu pijak untuk negara menunjukkan komitmen penegakan kemanusiaan dan pemenuhan hak-haknya. Namun sikap negara yang diam hingga saat ini seperti menegasikan semua upaya tersebut. Hingga rezim hari ini, yang terjadi justru sebaliknya. Impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM, serta ketidakjelasan nasib para korban dan keluarganya dalam balutan ganti rugi uang. Dalam pasal 5 ayat 2 kovenan Hak Sipil dan Politik disebutkan bahwa “Tidak diperkenankan adanya suatu pembatasan atau pengurangan hak-hak asasi manusia yang mendasar diakui atau yang ada di suatu Negara yang menjadi pihak dalam Kovenan ini menurut hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak-hak tersebut atau mengakui sebagai hak yang lebih rendah sifatnya.” Maka dari itu apabila PERGUB 228 membatasi hak berpendapat setiap orang yang melakukan aksi kamisan, maka hal tersebut dirasa telah melanggar ketentuan ICCPR tersebut.

Persidangan demi persidangan yang dilakukan berubah menjadi opera sabun tak layak tonton yang menunjukkan keengganan pemerintah untuk segera bergegas menyelesaikan setiap kasus pelanggaran HAM serta memastikan ketidakberulangannya. Sementara pihak kalangan keluarga korban, korban dan survivor serta mereka yang bersolidaritas diterpa kenyataan pahit suramnya masa depan kasus yang menimpa mereka. Satu contoh adalah ketika persidangan terkait kasus penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti berakhir tragis dengan hanya menghukum para perwira rendahan. Sementara garis komando yang mengaitkan dengan mekanisme kerja militer dan menyeret para perwira tinggi sengaja luput dari pertimbangan dewan hakim.[6]

Salah satu kejahatan yang seringkali diamini banyak orang dan banyak Negara, adalah kejahatan yang diistilahkan oleh Russell sebagai crime of silence, atau kejahatan atas kebungkaman terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Jenis kejahatan ini tidak diatur dalam instrumen hukum baik nasional maupun internasional, tapi pembungkaman dan kebungkaman umumnya selalu menjustifikasi kekuasaan Negara yang sewenang-wenang dan berujung pada impunitas. Seringkali upaya masyarakat sipil yang oposan terhadap rezim penguasa menemui jalan buntu. Tidak saja perangkat hukum dan alat politik yang ada tidak cukup efektif sebagai senjata perlawanan, tapi juga perangkat dan ruang yang ada umumnya dikooptasi oleh rezim penguasa untuk melanggengkan impunitas.

Sasaran perlawanan lantas dialihkan di ruang internasional, dimana perangkat hukum pidana internasional sudah dibentuk dan sudah ada preseden untuk meminta pertanggungjawaban Negara yang telah melanggar hak-hak dasar warganya atau warga negara lain. Sayangnya, di tingkatan internasional pun seringkali tidak efektif membantu perlawanan kelompok oposisi untuk membela keadilan bagi mereka yang ditindas. Sistem 3 hukum pidana internasional mendapat banyak kritikan dari kelompok legalis kritis, realis, poskolonial, dan juga kelompok kiri, terutama dalam kaitannya dengan politik dan kepentingan ekonomi negara-negara tertentu serta keterbatasan implementasinya di tingkatan praksis. Karl Marx, misalnya, termasuk yang memberikan warisan kritik atas institusi hukum borjuis yang menjadi bagian dari kekuasaan yang menindas. Dari sini, Samuel Moyn (2012) mengkritik asas ‘netralitas’ yang diumbar oleh sistem hukum pidana internasional yang pada prakteknya tidak lebih sebagai kamuflase untuk memberi jalan bagi liberalisme untuk menghancurkan perjuangan sosialis dan anti-kolonialisme. Kelompok poskolonial juga melihat ketidak seimbangan kekuasaan antara negara-negara bekas penjajah dan negara-negara yang baru merdeka, yang umumnya adalah negara miskin dan powerless, sehingga sistem hukum internasional malah justru melanggengkan kolonialisme dalam bentuk baru.

Milan Kundera, penulis fiksi ternama pernah mengatakan bahwa perjuangan melawan penguasa adalah perjuangan melawan lupa. Hal yang serupa juga sempat dikatakan oleh Munir Said Talib semasa hidupnya sebelum akhirnya juga ia ikut menjadi bagian dari mereka yang disingkirkan oleh penguasa. Bahwa bangsa ini memiliki penyakit kronis yang mesti segera disembuhkan. Penyakit itu adalah: lupa. Kedua pernyataan ringkas ini adalah sikap negara saat ini yang menjadi sasaran dari Kamisan. Mencegah agar negara jangan sampai lupa dan mendiamkan begitu saja tragedi-tragedi berdarah di masa lalu. Bahwa yang terjadi kemarin adalah sesuatu yang menyakitkan namun mesti dengan segera dituntaskan agar tak menjadi borok untuk masa depan.

Kamisan adalah satu aksi kecil dari banyaknya inisiatif masyarakat sipil, kalangan korban, dan keluarga korban untuk setiap saat terus mengupayakan agar keadilan itu terwujud. Tak ada balutan dendam kesumat di setiap bibir yang terkatup rapat di sana. Namun ada kesabaran yang didirikan di atas keinginan dari tiap mereka agar ini menjadi prasasti hidup dari bukti enggannya negara menunjukkan itikad baik dalam persoalan ini.

Kamisan adalah prosesi dari orang-orang yang dipinggirkan oleh kekuasaan dan diacuhkan oleh negara. Bahkan ketika mereka telah berada tepat di depan istana. Menunggu agar ada pintu keseriusan negara sesegera mungkin menyeret para pelaku ke pengadilan, menjatuhkan hukuman yang setimpal, memulihkan hak-hak mereka yang menjadi korban dan mengembalikan mereka yang masih hilang. Tak luput juga negara harus menjamin bahwa peristiwa-peristiwa serupa tak akan terulang agar tak perlu lagi ada Kamisan-Kamisan lain yang bermunculan di depan istana presiden.

Salam keadilan.

*sumber foto berasal dari kegiatan 10th aksi kamisan

 

[1]  Mutiara Andalas, ‘Kesucian Politik’ dalam rubrik opini harian KOMPAS, Selasa, 13 Mei 2008.

[2]Thomas Aquinas dalam pembahasan mengenai perspektif pada buku Bernard L Tanya, Moralitas Hukum, Yogyakarta: Genta Publishing, 2014, hlm. 6.

[3]Maria Malomud, Asociación Madres de Plaza de Mayo: Group Development from Single-Issue Protest Movement to Permanent Political Organization, tesis.

[4]Hal ini sangat berkaitan dengan salah satu bunyi pasal dalam PERGUB 228, yakni yang termaktub dalam pasal 3 huruf a: Bahwa Peraturan Gubernur ini bertujuan untuk menjamin ketertiban umum, ketentraman masyarakat dan keamanan dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum.

[5]Bernard L Tanya, Op.Cit, Hlm. 13.

[6]Berita KontraS No. 02/IV-VI/2009. Hlm. 7.

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *