A Common Word: Kasih Tak Punya Kelas

Ruang sosial kita beberapa waktu ke belakang sedang gaduh sekali dengan pelbagai macam seruan kebencian yang terjadi antar etnis dan agama. Tidak hanya di Indonesia, sentimen antar agama ini juga terjadi di banyak tempat di berbagai penjuru dunia. Munculnya gerakan radikal NIIS dan pengusiran etnis Rohingya adalah sebentuk dari kegaduhan itu.

Padahal, kalau kita melihat konteks agama dan keyakinan, seharusnya dua hal itu bukan menjadi dasar munculnya kekerasan. Agama dan keyakinan harusnya menjadi buah yang mendatangkan perdamaian.

Atas dasar itu, terpisah jauh dari kegaduhan yang terjadi, beberapa orang muda berbasis komunitas dan keyakinan melakukan perjumpaan dan diskusi pada sebuah acara yang diberi nama A Common Word.

Tema acara ini diambil dari sebuah dokumen yang muncul pada tanggal 13 Oktober 2007 yang disebut Rahmatullah Albarawi, selaku moderator diskusi, sebagai sebuah  ‘Surat Cinta’ dari pemimpin-pemimpin Islam di dunia kepada pemimpin Kristen di seluruh dunia. Surat ini muncul sebagai sebuah upaya mendamaikan penganut agama Islam dan Kristen, karena perdamaian kedua pihak diyakini menentukan perdamaian umat manusia seluruhnya.

A Common Word hadir untuk menyatukan dan menyatakan dasar yang sama dalam Kekristenan dan Islam, yaitu pentingnya kasih kepada Allah dan pentingnya kasih kepada sesama.

Kasih kepada Allah

Margareta Anindhita perwakilan dari Komunitas Paingan yang menjadi representasi Orang Muda Katolik menjelaskan bahwa kasih itu adalah Allah. Kasih juga dimaknai sebagai sebuah kekuatan yang dapat dilatih untuk berbuat kebajikan. Dan cara yang paling tepat dalam mewujudkan kasih itu adalah dengan perjumpaan dan berdialog.

“Dengan perjumpaan dan dialog itulah segala prasangka, spekulasi, dan segala hal yang membuat gaduh bisa dipatahkan,” ungkap Fauziah Hasibuan dari Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Yogyakarta. Bunbun, begitu sapaannya, juga menjelaskan bahwa dalam Islam, Tuhan juga dimaknai sebagai sumber segala cinta dan kasih. Oleh karena itu, relasi vertikal dengan-Nya haruslah didasari dengan cinta. “Mencintai Tuhan adalah sebuah kata kerja yang diwujudkan dalam bentuk keyakinan, ucapan, dan tindakan yang dilakukan sehari-hari,” imbuhnya.

Kasih kepada sesama

Duduk bersama dua pembicara lainnya, hadir pula Dimas Hanung dari Cana Community dan Sayyid Jundullah dari YIPC Yogyakarta. Keduanya juga merupakan perwakilan dari dua agama yang berbeda, agama yang menjadi pokok munculnya dokumen A Common Word, Katolik dan Islam.

Dari pemaparan keduanya, ternyata muncul sebuah persamaan. Bahwa baik dalam Islam maupun Kristen relasi kasih itu bersifat vertikal dan horizontal. Sebagaimana yang tertulis dalam QS. An-Anfaal ayat 1,”Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang beriman.” Juga pada  yang tertulis pada Injil Markus 12: 29-31,”Hukum  yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.“

Baik Dimas Hanung dan Sayyid Jundullah memberi garis bawah pada kata ‘sesama’. Sesama bukanlah berarti orang yang memiliki latar belakang agama, ras, maupun etnis yang sama. Sesama itu mencakup semuanya. Semua yang diciptakan Tuhan di alam semesta sebagaimana yang tertulis pada Kejadian 2:15, “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”

Dialog lintas iman yang diadakan pada tanggal 20 Oktober 2017 di Campus Ministry Universitas Sanata Dharma, kampus III ini merupakan sebuah kegiatan awal untuk menyambut Angkringan Lintas Iman 2017. Dialog lintas iman ini menurut Sayyid Jundullah juga menabrak pakem-pakem yang ada di kebanyakan tempat bahwa dialog lintas agama hanya dilakukan oleh kelompok elite agama. Tidak. Kenyataannya, perjumpaan dan dialog lintas agama bisa dilakukan siapa saja tanpa harus memandang kasta sosial. Hal ini tentu didasari bahwa kasih itu tidak mengenal kelas.

(Cahyo)

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *