Belajar dari Komunitas

 

                       Menurut Vanina Delobelle, komunitas merupakan sarana berkumpulnya orang-orang yang memiliki kepentingan bersama, dan dibentuk oleh keinginan untuk berbagi dan berkomunikasi. Bagi saya sendiri komunitas merupakan sebuah tempat untuk berkembang, belajar, dan melayani. Seperti sebuah kelompok pada umumnya, komunitas juga membutuhkan seorang pemimpin yang mampu beraksi, bukan hanya pandai mencari posisi. Pemimpin yang mampu memberikan kesempatan orang lain untuk memimpin. Pemimpin yang memiliki inovasi dan bisa memberikan motivasi demi menghidupi komunitasnya.  Mungkin inilah beberapa alasan mengapa Campus Ministry Universitas Sanata Dharma mengadakan Community Building and Ignatian Leadership Training bagi para komunitas-komunitas partner Campus Ministry. Bersama tulisan ini, akan saya bagikan pengalaman-pengalaman menarik selama mengikuti kegiatan tersebut.

                   Community Building and Ignatian Leadership Training dilaksanakan pada tanggal 20-22 Juni 2016 di Wisma Penting Sari. Sebagai langkah awal sebelum kami memulai rangkaian acara, kami sudah dihadapkan dengan beberapa situasi yang sebelumnya tidak pernah kami lakukan yaitu panitia mengarahkan kami untuk jalan menuju wisma (20 Km dari Kampus III, Paingan) pukul 02.00 WIB. Setiap kelompok tidak diperkenankan untuk membawa alat komunikasi maupun uang saku terlalu banyak, kami hanya dibekali dengan uang sebesar 20.000, nasi bungkus, air mineral, dan nomor telepon panitia. Kami semua merasa kelelahan, beberapa jatuh sakit, bahkan kaki saya terluka karena terlalu memaksakan diri untuk terus berjalan. Di setiap kelompok memiliki dinamikanya sendiri-sendiri, ada yang harus meminjam ponsel warga sekitar untuk menghubungi panitia, ada yang sangat bersemangat sampai-sampai tidak sadar jika sudah tersesat dan berjalan terlalu jauh, ada yang berjalan tanpa mengikuti rute dan memilih untuk  mengikuti kelompok lain. Semua menjalani pilihannya masing-masing, hingga singkat cerita kami sampai di wisma dengan selamat. Dalam hati saya bertanya-tanya tujuan apa yang dirancang panitia hingga kami harus berjalan kelelahan seperti ini? Lalu belakangan saya tahu, Romo Buddy Hariyadi, SJ, minister Campus Ministry dalam sesi Kepemimpinan Ignasian menjelaskan bahwa ciri khas dari Latihan Kepemimpinan Ignasian adalah “Jalan Kaki”. Santo Ignasius Loyola (pendiri Serikat Yesus) mengatakan bahwa “Jangan berhenti untuk mempunyai cita-cita”, wisma dalam hal ini merupakan sebuah cita-cita yang harus kami capai dan jalan kaki adalah replika dari ujian hidup yang menguji sampai batas ketidakmampuan kita. Salah satu hal yang khas dari spiritualitas Ignasian adalah daya tahan atau ketangguhan, setiap pribadi diajak untuk menikmati zona tidak nyaman. Dari sini saya belajar bahwa sebuah cita-cita ataupun mimpi harus selalu diperjuangkan, karena dalam situasi apapun Allah tidak akan pernah meninggalkan kita, selagi kita selalu memperjuangkannya. Jalan, jalan, dan jalan terus! Setiap dari kita mempunyai jalannya masing-masing, selalu ada jalan ketika kita tidak mudah menyerah.

                  Sesampainya di wisma kami langsung beristirahat, hingga tibalah saatnya kami harus memasak untuk makan malam. Ini salah satu hal bagi saya yang juga menyenangkan. Kami hanya diberi uang sebagai modal untuk berbelanja, dari uang itu kami sekelompok mendiskusikan menu apa yang akan kami masak, barulah pergi berbelanja. Ditengah-tengah keasyikan kami yang sedang memasak, tiba-tiba kami teringat bahwa diantara kami tidak ada yang membawa kuali, kami sangat kebingungan dan berpikir bahwa kami akan menggoreng menggunakan panci karena tidak ada alat lain. Dalam kegalauan kami yang tak menentu itu, seperti mukjizat rasanya ketika ada kelompok lain yang meminjamkan kuali pada kelompok kami. Bahkan ada juga yang memberikan sebagian nasi mereka untuk kami. Satu pelajaran lagi yang dapat saya petik, yaitu saling berbagi dan peka terhadap lingkungan sekitar. Seperti yang dikatakan Mas Antonius Febri Harsanto, S.Sos, kepala Campus Ministry dalam sesi Community Building, bahwa ada tiga tahapan dimana manusia dapat membangun sebuah interaksi, yaitu melihat, memperhatikan, serta terlibat (seperti sudah tidak ada jarak). Dalam acara ini saya merasakan bahwa teman-teman sudah mengalami tiga hal tersebut, bahkan sampai-sampai kami diberi sebagian nasi dari kelompok lain  yang menurut saya adalah bukti dari keterlibatan mereka. Pada sesi masak-memasak dihari ke dua, kami tidak lagi dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, melainkan dijadikan satu kelompok besar. Di situ kami sempat merasa kesulitan untuk menyatukan banyak pikiran hingga akhirnya salah satu dari kami mempunyai inisiatif untuk mendaftar apa saja bahan yang masih kami miliki. Setelah itu, lagi-lagi kami diberi modal dan berbelanja sendiri bahan-bahan yang akan kami masak. Sebelum pergi berbelanja, kami dibagi menjadi dua tim, satu tim tetap tinggal di wisma untuk menyiapkan peralatan dan meracik bumbu, kemudian tim yang lain pergi berbelanja. Setelah selesai menjalankan tugas masing-masing kedua tim ini kemudian saling bahu-membahu untuk memasak. Yang ahli dalam menggoreng akan tetap tinggal di dekat kompor dan kuali, yang handal dalam hal maracik akan bertugas mengiris-iris serta menghaluskan bumbu, yang jagoan dalam bidang selera tinggi akan selalu mencicipi makanan yang sudah matang untuk memastikan keseimbangan rasa. Tanpa adanya pembagian tugas yang jelas, namun kami sama-sama sudah mengenali diri kami sehingga tahu apa yang menjadi keahlian kami. Banyak dari kami yang awalnya tidak bisa memasak, tetapi sebuah tim yang sukses bukan hanya soal mendapatkan tetapi juga soal membagikan, jadi kami saling berbagi ilmu memasak satu dengan yang lain.

                    Ada hal baru yang belum pernah saya lakukan sebelumya, yaitu mengenali diri sendiri yang ditilik dari sudut pandang pribadi maupun orang lain. Dalam sesi ini kami diajak untuk melihat sisi positif  sekaligus negatif dari diri kami. Melalui jendela JOHARI, kami dapat memisahkan sifat mana saja yang sudah diketahui diri sendiri dan orang lain, serta hanya diketahui diri sendiri ataupun orang lain. Hal-hal semacam inilah yang mungkin sering dianggap sepele, namun bermakna besar dalam proses pendewasaan diri, dapat pula menjadi cermin kita selama ini sebagai upaya perbaikan diri. Seorang pemimpin juga harus lebih dahulu bisa mengenali dirinya sendiri sebelum ia bisa memahami karakter setiap anggotanya. Dalam sesi Kepemimpinan Ignasian dengan Romo Buddy sebagai pemateri, ada beberapa hal menarik yang sayang untuk dilewatkan. Romo mengajak kami untuk menyelami lika-liku kehidupan Santo Ignasius Loyola, Santo Ignasius mengatakan bahwa “Mimpi saya harus dibagikan, mimpi saya tidak bisa sendirian!”. Merasa bahwa pengalaman imannya dapat dialami orang lain, karenanya perlu dibagikan agar orang lain dapat mengalami pengalaman keselamatan yang sama. Romo Buddy menekankan bahwa kepemimpinan merupakan sebuah pelayanan, ungkapan syukur serta iman. Memimpin bukan semata-mata tindakan atau pekerjaan tetapi sebuah cara hidup yang harus kita hayati, karena seumur hidup kita tidak akan pernah selesai untuk memimpin dalam hal apapun itu. Ada beberapa keutamaan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya ialah: kerendahan hati, sikap lepas bebas, kesediaan untuk terlibat karena kecintaan dan peduli terhadap sesama, serta menjadi visioner. Keutamaan-keutamaan tersebut selaras dengan empat pilar kepemimpinan, yaitu : kesadaran diri, kecerdasan, kasih (semangat melayani), serta kepahlawanan. Tiga prinsip dalam kharisma Ignasian, Spiritu-Corde-Practice tidak terlepas dari istilah Ad Maiorem Dei Gloriam yang berarti untuk Kemuliaan Allah yang lebih besar. Hal inilah yang perlu terintegrasi dalam setiap pribadi, dimana segala sesuatu yang kita miliki, segala tujuan hidup kita, pada akhirnya harus bermuara pada tujuan untuk mewujudkan kehadiran Allah. Prinsip tersebut hanya dapat direalisasikan dengan melibatkan pengalaman hati, sehingga terciptalah hasrat untuk memberikan diri bagi sesama.

                         Ada pula sesi Community Building dengan Mas Anton sebagai pemateri. Ada satu kalimat yang menjadikan saya lebih bersemngat lagi menjalani hidup di dalam komunitas, yaitu “We make a living by what we get, we make a life by what we give”. Bukan soal mendapatkan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana cara berbagi. Dalam sesi ini kami diberi kesempatan untuk berbagai suka duka selama berdinamika dalam komunitas. Dari anggota yang semakin sedikit seiring dengan berjalannya waktu, susahnya mencari inovasi baru dalam program kerja, dan bagaimana cara menyapa masyarakat sekitar kampus adalah beberapa unek-unek yang terkadang menghantui pikiran kami. Learning is not simply earning, Mas Anton menyadarkan kami bahwa komunitas adalah tempat untuk belajar, maka kami semakin bisa memaknai segala keluh kesah kami sebagai bagian dari proses pembelajaran. Kami semakin mampu menghayati apa itu komunitas, dimana setiap anggotanya tidak terikat tetapi selalu memiliki komitmen untuk tetap bergabung.  Berbagai tips dan trik kami dapatkan untuk membangun keluarga di dalam komunitas.

                    Akhir kata, saya merasa sangat beruntung karena dapat mengikuti acara ini, walaupun saya tidak menikmati seluruh sesi dengan maksimal karena kondisi kesehatan saya yang kurang baik, A smooth sea has never made a skillfull sailor, jadilah pemimpin yang tangguh, berdaya juang tinggi, pandai memahami karakter dari setiap anggotanya, berani berkorban demi tujuan bersama, dan yang pasti mampu memberikan kesempatan orang lain untuk memimpin.

Selamat dan Semangat Melayani

Ad Maiorem Dei Gloriam

Margareta Anindhita Oktaviani

(Refleksi Community Building and Ignatian Leadership Training, 20-22 Juni 2016

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

1 thought on “Belajar dari Komunitas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *