60 Th Sanata Dharma: Sebuah Pilihan yang Salah

Banyak orang yang sependapat dengan ungkapan, “tak ada masa paling indah selain masa-masa sekolah menengah atas”. Sebuah masa yang tak akan pernah terjadi untuk kedua ataupun ketiga kali. Sebuah masa di mana orang banyak belajar menemukan hal-hal sentimentil dalam hidupnya untuk kali pertama. Pacar, pengorbanan, persahabatan, sampai hal yang berkaitan dengan geng-geng-an yang sebenarnya tak lebih dari sekumpulan orang yang jarang mengerjakan PR di rumah.

Masa itu memang masa yang sangat menakjubkan bagi segelintir orang karena dianggap sebagai masa terakhir untuk benar-benar bebas bermain karena setelah itu mereka akan berjibaku mencari pekerjaan karena tak mampu mencicipi manisnya pendidikan di bangku kuliah. Memasuki dunia kerja berarti meninggalkan dunia yang penuh keceriaan, demi masa depan mereka sendiri. Sedangkan sisanya, bagi mereka yang sedikit lebih beruntung karena mampu mengecap manisnya pendidikan di perguruan tinnggi di universitas-universitas kebanggaan mereka akan memulai kisahnya sendiri.

Bagi yang meluangkan waktu sedetik lebih lama untuk benar-benar menghayati dan memaknai keberuntungan itu, masa kuliah tak kalah menyenangkan jika dibanding masa SMA. Bahkan, bagi sebagian orang, masa kuliah adalah masa terbaik yang pernah ada. Begitu juga denganku, satu dari segelintir orang yang merasa beruntung karena bisa merasakan jenjang sekolah yang lebih tinggi.

Kuliah mungkin ada di urutan ke sekian belas dalam deretan hal yang harus aku lakukan setelah lulus sekolah. Sama halnya dengan menjatuhkan pilihan untuk kuliah di Universitas Sanata Dharma dari sekian banyak pilihan universitas yang ada di kota yang menyandang predikat kota pelajar ini. Sebagai anak dari orang tua yang old-fashioned, kuliah di universitas swasta tak pernah terlintas di pikiran. Lalu kenapa aku bisa masuk dan kuliah di sini, mungkin karena sebuah ketidaksengajaan yang akan  aku syukuri.

Universitas Sanata Dharma sebagai salah satu universitas swasta yang berada di bawah naungan yayasan Katolik seakan jadi hal yang paling banyak menyita ruang di dalam kepala ini. Hal ini lantaran aku yang menyematkan agama yang mayoritas dipeluk oleh orang Indonesia dan tak adanya pengalaman bersekolah di sekolah yang mengkhususkan dalam segi agama. Namun, opini-opini yang terbangun di kepalaku itu runtuh ketika aku untuk kali pertama menjejakkan kaki di kampus ini. Suasana nyaman langsung menyambutku dengan begitu hangat, seakan ada luapan rasa rindu karena lama tak bertemu. Seakan ada kasih yang begitu hangat mendekap.

Berkat bantuan dari seorang teman masa SMA, aku tak perlu waktu banyak untuk mendapat teman baru di sini. Satu hal yang masih lekat dalam benak ini saat kali pertama masuk di Sanata Dharma adalah di sini, di kampus ini, tidak ada program orientasi mahasiswa baru -ospek- yang terkenal karena kental dengan senioritas. Di sini ada semacam program perkenalan mahasiswa baru yang diberi nama Inisiasi Sanata Dharma (INSADHA). Sebuah program yang menurutku bagus karena junior tidak harus merasa menjadi junior pun dengan senior. Tak ada disparitas, tak ada sekat yang menjadikan jarak di antara junior dan senior. Semua sama. Semua sepadan. Dan hal itulah yang membuatku mulai merasa nyaman di sini.

Memasuki tahun-tahun belajar di sini, rasanya aku sangat bersyukur. Terlebih karena walau pun menjadi minoritas, hak-hak untuk menjalankan kegiatan keagamaan sesuai dengan aku yakini dijamin penuh. Banyak diskusi sederhana mengenai keagaman dan keyakinan yang terbangun di warung-warung pinggir jalan, halaman-halaman kos-kosan, sampai ke bangku-bangku kuliah, tentu dengan suara yang sengaja dilirih-lirihkan. Hal ini malah membuatku banyak belajar untuk lebih lagi mendalami ajaran agamaku, sekaligus menghormati mereka yang berbeda. Sudah sepantasnya memang sebagai sesama makhluk penghisap oksigen kita saling menghormati dan tidak saling membandingkan ajaran agama mana yang lebih baik ataupun lebih benar.

Sebagai seorang yang dari masa sekolah tak terlalu berbakat di bidang olahraga maupun musik, membuatku agak kesusahan dalam memilih kegiatan mahasiwa yang favorit di sini. Tak mungkin rasanya dengan tinggi yang tak sampai 168cm ini aku ikut bergabung dalam tim bola basket. Ataupun dengan suara yang berada di luar range nada-nada mayor maupun minor dapat membuatku bisa bergabung di tim paduan suara. Tapi aku percaya ungkapan bahwa Tuhan Maha Adil itu memang benar adanya. Setelah dikenalkan dengan “rohis”nya Sanata Dharma, FKM BUDI UTAMA, sebuah komunitas yang bergerak di bidang keagamaan.  Aku kembali dikenalkan dengan teman-teman dari komunitas Stand Up Comedy.

Dari mereka, aku tak hanya menemukan teman baru, tapi juga keluarga. Dari mereka, aku banyak belajar bahwa kuliah itu bukan hanya soal datang tepat waktu. Kuliah juga bukan hanya tentang mengumpulkan tugas tepat pada hari yang ditentukan. Bukan soal mengerjakan tes demi nilai IPK tiga koma.

Dari mereka aku belajar bahwa kuliah adalah proses penemuan jati diri yang sejati. Kuliah adalah tentang segala mimpi yang diupayakan untuk benar-benar terjadi. Kuliah adalah tentang pembelajaran, pendewasaan, pematangan pola pikir dengan pelbagai diskusi, dan petualangan mengalahkan batasan yang dibuat diri sendiri dan melampauinya. Tak hanya itu, kuliah juga ternyata banyak menyuguhkan cerita-cerita cinta yang lebih luar biasa dari masa SMA. Cinta yang memang pantas untuk diperjuangkan.

Tiga tahun sebelas bulan mengikuti setiap proses pembelajaran di sini, membuatku bersyukur karena aku telah dibiarkan “salah” dalam memilih tempat kuliah. Karena pada kenyataannya, pilihan yang salah malah membawaku ke tempat yang tepat, ke tempat yang akan selalu aku rindukan, tempat yang bahkan tak ingin aku tinggalkan.

Dan di usianya yang akan genap 60 tahun ini, aku berharap bahwa satu saat Universitas Sanata Dharma ini akan menjadi lebih berkilau lagi layaknya sebuah intan permata. Seperti pualam yang makin benderang seiring dengan arus waktu yang kian menantang. Sebuah harapan kecil di usia senjanya, Universitas Sanata Dharma dapat menjadi universitas yang memiliki jiwa muda yang punya kepekaan sosial, tingkat curiosity –keingintahuan- yang tinggi akan segala hal yang menyangkut kebenaran, dan tak mudah terlena dengan apa yang sering mereka sebut sebagai kenyamanan. Di sisi lain, aku berharap Universitas Sanata Dharma dapat menjadi tempat yang nyaman untuk belajar, berproses, dan berpetualang bagi semua kalangan tanpa membuat perbedaan atas nama suku, ras, dan iman. Menjadi tempat paling nyaman untuk “pulang”.

Terima kasih untuk tahun-tahun luar biasa, untuk teman, sahabat yang tak akan terlupa oleh waktu, juga untuk cinta yang layak diwujudnyatakan.

…SELAMAT ULANG TAHUN KE-60 UNIVERSITAS SANATA DHARMA…

( Wahyu Nur Cahyo, S.Pd)

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *