Hari Natal: Ketika Kita Semua Menjadi Kristen

Sumber: twitter.com
Sumber: twitter.com

Tulisan dari Gayatri Wedotami Muthari, aktivis ICRP di Tabloid Podium, Kamis 18 Desember 2014

 ———–
Natal merupakan momen yang tidak hanya dinantikan oleh umat Kristen di seluruh dunia dengan sukacita, baik secara religius maupun spiritual, tetapi juga oleh orang-orang di berbagai penjuru dunia yang merayakannya sebagai bagian dari tradisi dan kesempatan untuk berlibur, baik bersama-sama keluarga maupun bersama kawan dan orang tercinta.

Tidak dapat dinafikan bahwa Hari Natal dan Tahun Baru Masehi merupakan hari libur yang paling mendunia dan paling dikenal banyak orang di dunia. Hampir seluruh orang di dunia mengetahui bahwa perayaan Natal adalah perayaan syukur atau pesta sukacita atas lahirnya Yesus Kristus, baik mereka meyakininya atau tidak sama sekali. Dengan demikian, Yesus Kristus merupakan sosok yang sebenarnya telah begitu akrab dengan mereka, baik mereka sadari atau tidak, serta baik akrab secara langsung maupun tidak. 

Di berbagai penjuru dunia, di mana negara-negaranya dihuni oleh mayoritas penduduk Muslim, Buddhis, dan Hindu, seperti Palestina, Iran, Libanon, Jepang, Taiwan, Vietnam, Korea, India dan tentu saja Indonesia, Hari Natal menjadi hari berkumpul bersama kaum kerabat serta handai taulan yang berbeda keyakinan untuk saling berbagi kegembiraan. 

Mereka yang ikut hadir dalam pesta-pesta di rumah saudara, sahabat, tetangga, kerabat, bos atau pegawai mereka belum tentu mengimani Yesus Kristus sebagaimana orang-orang Kristen mengimaninya, namun tanpa mereka sadari, secara tidak langsung mereka telah menerima kehadiran Yesus Kristus dengan cara mereka sendiri.

Melalui silaturahmi, makan-makan dan bergembira bersama, telah dan akan terjadi keakraban lintas iman dengan perantara peringatan hari kelahiran Yesus Kristus. 

Ungkapan “Anonymous Christian” yang dilontarkan teolog Jesuit Karl Rahner sebenarnya sangat kuat terasa apabila Hari Natal tiba. Sebagai Muslim, saya sangat menerima penjelasan dari ungkapan ini, bahwa siapapun yang mengikuti jejak, ajaran dan teladan Yesus Kristus, pada dasarnya ia adalah seorang yang telah menerima Yesus Kristus.  

Bagi Karl Rahner, adalah mustahil terdapat jalan keselamatan selain melalui Yesus Kristus, akan tetapi adalah sangat mustahil juga Yesus Kristus tidak menyelamatkan mereka yang menerimanya (dengan melakukan amal perbuatan sebagaimana ajaran dan teladan Yesus Kristus) walau tidak menjadi orang Kristen. Atau dengan kata lain, “Orang-orang bisa memperoleh keselamatan di luar Gereja, tetapi tidak tanpa ridho Yesus Kristus.” 

Di sini saya memahami “Grace of God” juga sebagai ridho-Nya yang kita harapkan, bahwa dengan cinta kasih Yesus Kristus yang hadir ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia, semoga kita juga termasuk di dalamnya.  “Keridhoan” Tuhan pada dasarnya adalah yang dicari oleh semua orang yang beriman karena hanya dengan keridhoan-Nya manusia menerima keselamatan di dunia dan akhirat. 

Dalam Islam, ungkapan yang senada dengan “Anonymous Christian” adalah “Muslim Fitri”, suatu istilah yang dilontarkan oleh teolog Syiah Murtadha Muthahari dalam bukunya “Keadilan Ilahi.” Keridhoan Tuhan, juga menjadi kata kunci di sini.

Jika dalam Gereja atau Kristen bahwa setiap amal dan perbuatan diniatkan dan diharapkan untuk mendapatkan ridho dari Yesus Kristus, maka dalam Islam setiap amal dan perbuatan diniatkan dan diharapkan untuk mendapatkan ridho dari Allah dan untuk mendapatkan ridho-Nya juga harus memperoleh ridho dari Nabi Muhammad.  

Umat Islam mengenal akrab Yesus Kristus, sebagian bahkan juga meyakini bahwa pada hari akhir zaman ia akan kembali bersama Imam Mahdi untuk menyatukan umat, mengembalikan kedamaian dunia.

Di beberapa sekte Islam, Yesus Kristus dan Bunda Maria merupakan sosok yang juga menjadi perantara doa wasilah (tawassul) dan tempat-tempat jejak peninggalan suci mereka (shrines) yang diziarahi menjadi perantara berkat (tabarruk). 

Meskipun tidak menerima Natal pada 25 Desember sebagai hari lahir Yesus Kristus, seorang Muslim yang benar-benar mempelajari AlQur’an akan langsung terhubung dan merasa menjadi “Kristen” ketika mendengar cerita-cerita dalam Injil mengenai hari lahir Yesus Kristus, dengan langsung mengingat bahwa ini juga ditemukan dalam AlQur’an. Dan, seolah-olah, jika saya bisa mengilustrasikannya begini, ia akan merasa menjadi “Kristen” namun berada di dalam “Gereja” bernama Islam – sebuah “Gereja” yang tidak mengimani peristiwa penyaliban sebagai penebusan dosa, konsep Trinitas, dan baptis (dalam bentuk apapun) secara Trinitas. 

Sebab, tidak semua sekte Islam menolak otoritas Alkitab, dan tidak semua sekte Islam menyangkal otoritas spiritual para Bapa Perdana Gereja. Bahkan ada sekte-sekte dalam Islam yang mampu menerima konsep Trinitas secara spiritual bukan letterlijk – seperti kaum sufi.

Pendek kata, Natal menjadi salah satu jembatan untuk mempertemukan dua umat yang sama-sama menerima kehadiran Yesus Kristus, tetapi sama sekali berbeda dalam cara mengimaninya.

Guru rohani saya, Syaikh Ali Haydar, bahkan mengatakan, sebelum seseorang menjadi seorang Muslim, maka dia pasti terlebih dulu menjadi seorang Kristen. 

Tidak sedikit dari para tokoh Buddhis dan Hindu yang pernah mengatakan bahwa mereka menerima Yesus Kristus, tetapi yang tidak bisa diterima adalah perbuatan orang-orang Kristen yang sama sekali  tidak mencerminkan ajaran dan teladan Yesus Kristus – serta tentu saja sistem mapan dengan struktur-struktur, dogma dan doktrin-doktrin dalam Gereja.

Bagi umat Buddhis, barangkali, Yesus Kristus tak lain adalah Sang Buddha dan Sang Avatar, demikian pula bagi umat Hindu yang di beberapa sektenya dapat menerima sosok siapapun sebagai inkarnasi atau pun reinkarnasi para dewa.

Pendek kata, hampir tidak ada yang dapat menyangsikan ajaran dan teladan Yesus Kristus yang universal mengenai cinta kasih adalah ajaran-ajaran yang terkandung dalam agama mereka sendiri, sekali pun jika mereka tidak bisa menerima “Gereja” seperti orang-orang Kristen menerimanya. 

Dengan demikian, Natal memang merupakan momen yang tepat bagi setiap orang yang mengenal dan menerima Yesus Kristus dengan cara mereka masing-masing untuk berbagi cinta kasih dalam bentuk apapun, entah makanan, hadiah, kebersamaan, perhatian, dan lain-lain.

Boleh jadi yang dibicarakan saat duduk dan makan bersama di suatu pesta Natal adalah sesuatu yang sangat profan, atau hal-hal yang bersifat duniawi. Akan tetapi, kita dapat melihat bahwa Natal telah menjadi momen yang tepat untuk memelihara kebiasaan baik merayakan keberagaman dan kebinekaan. 

Pada hari Natal kita mungkin dapat menyadari bahwa kita tidak harus menjadi Kristen dengan hadir bersama-sama dalam satu “gereja” yang sama.

Namun, ketika kita bisa bertemu dan berbagi cinta kasih dan kebahagiaan bersama-sama di hari Natal, kita juga telah menjadi “Kristen” meskipun berasal dari berbagai-bagai “gereja”; Kristen sebagaimana yang diungkap oleh Karl Rahner, yaitu yang mengikuti jejak, ajaran, dan teladan Yesus Kristus. 

Kesadaran bahwa kita berasal dari “Gereja” yang berbeda-beda dengan tradisi yang juga sangat berbeda-beda, tetapi dapat berkumpul bersama dalam keberagaman, adalah langkah baik memelihara sikap pluralis dan inklusif kepada satu sama lain.

Maka, perayaan Natal juga adalah jembatan kebangsaan yang indah karena sayup-sayup di dalamnya kita dapat dengan jelas mendengar senandung Bhineka Tunggal Ika. Kesadaran yang semacam inilah yang harus terus-menerus dipupuk dan dibangun yaitu yang penting bukan bagaimana kita mengimani Yesus Kristus, tetapi bagaimana kita menjalankan ajarannya. 

Dengan memelihara kebiasaan baik bersama-sama pada Hari Natal dengan menerima perbedaan dalam menerima siapa Yesus Kristus bagi kita, bagi saya ini juga berarti bahwa kita semua sedang berjalan memenuhi doa penuh cinta kasih dari Yesus Kristus, yaitu untuk umat manusia mau bersatu. Dan, terasa benarlah saat membaca ayat ini, bahwa Natal adalah hari ketika kita semua menjadi “Kristen”. 

“Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka, supaya mereka semua menjadi satu sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau,..” (Yohanes 17: 20-22). 

Selamat Merayakan Hari Natal dan Tahun Baru 2014. Semoga damai dan bahagia semesta dan seluruh isinya. 

 

*Gayatri Wedotami Muthari, relawan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), Pendiri IWL (Indonesian Women Literary Foundation), dan Alumnus Program Nostra Aetate Foundation 2011-2012 di Roma, Italia

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *