Demi Satu Tujuan: Merenungkan Hari Pahlawan

Peristiwa 10 November 1945 mengingatkan saya akan perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan setelah proklamasi. Dengan gagah berani, mereka berusaha melawan serbuan bangsa asing yang ingin berkuasa kembali. Peristiwa di Surabaya ini dianggap sebagai salah satu pertempuran terbesar setelah proklamasi. Entah bagaimana peringatan Hari Pahlawan 10 November mengingatkan saya akan sosok St. Ignasius Loyola. Mungkin karena St. Ignasius Loyola adalah seorang tentara yang juga ikut berperang sebelum pertobatannya.

Iñigo López de Loyola (sebelum berubah menjadi Ignasius). Terlahir dari keluarga bangsawan, ia bekerja mengabdi raja-raja Castilia dengan memanggul senjata. Dikatakan bahwa sampai umur 26 tahun, Ignasius hanya memikirkan permainan duniawi dan kesenangan pokoknya adalah latihan senjata dengan keinginan besar mau memperoleh keselamatan (Autobiografi, 1).

Dalam pertempuran melawan pasukan Perancis di Pamplona, Iñigo mengalami luka berat. Sebuah peluru meriam menghancurkan tungkai kanan dan melukai tungkai kirinya. Ia harus menjalani proses penyembuhan yang cukup panjang. Tak ada yang bisa dilakukannya selain membaca dan tidak ada bacaan selain Vita Christi (Riwayat Hidup Kristus) dan Flos Sanctorum (Bunga Rampai Para Suci).

Bacaan-bacaan ini ternyata menumbuhkan niat baru nan suci dalam diri Iñigo. Ia ingin melakukan peziarahan ke Tanah Suci. Ia ingin mengikuti jejak para Kudus. “Kalau St. Fransiskus dan St. Dominikus bisa, tentu saya juga bisa”, pikirnya. Dambaannya pun berubah. Semula, ia mendambakan pengabdian kepada seorang Ratu. Ia merasa gembira namun kegembiraan itu hanya sesaat. Ketika ia membayangkan pengabdian kepada Kristus, sang Raja Abadi, ia merasa bahagia dan kebahagiaan itu tinggal tetap. Setelah ia sembuh, ia melakukan peziarahan ke Tanah Suci. Ia menyerahkan pedang dan baju perangnya, kemudian mengenakan busana peziarah. Secara perlahan-lahan dirinya diubah, dari Iñigo sang tentara raja duniawi ke Ignasius sang abdi raja surgawi.St. Ignatius yang Militan

Saat ini, kita hidup di masa yang sungguh berbeda dengan masa di mana St. Ignasius dan para pejuang kita hidup. Kita hidup dengan menikmati buah-buah dari perjuangan mereka. Situasi hidup yang terjamin dengan fasilitas serba ada membuat kita tidak perlu mengorbankan nyawa. Namun, apakah kita harus berhenti berjuang?

Dari kisah hidup St. Ignasius Loyola dan para pejuang kita, ada beberapa hal yang bisa dipetik. Pertama, kita harus mengetahui apa yang menjadi tujuan hidup kita. Jangan sampai kita menjalani hidup secara monoton, asal lewat begitu saja. St. Ignasius tahu bahwa tujuan hidupnya adalah mengabdi Kristus. Para pahlawan kita tahu bahwa mereka berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan.

Kedua, apa yang bisa kita lakukan untuk mencapai tujuan itu? Pilihan-pilihan apa saja yang kita buat untukmencapai tujuan hidup? St. Ignasius menanggalkan segala harta duniawi dan atribut militernya. Ia mengenakan busana peziarah yang sederhana untuk melakukan peziarahan. Hari-harinya diisi dengan laku tapa dan mengemis. Para pahlawan kita memberikan diri sepenuh-penuhnya, berperang sampai titik darah penghabisan. Mereka meninggalkan orangtua, keluarga, sanak saudara untuk masuk keluar hutan.

Ketiga, kita harus memperjuangkan sekuat tenaga apa yang sudah kita pilih. Kita tahu tujuan hidup kita dan kita tahu pilihan hidup kita. St. Ignasius berjalan kaki, menempuh jarak ribuan kilometer untuk mencapai Tanah Suci. Ia hidup dari belas kasih dan matiraga. Banyak pahlawan kita yang gugur demi mempertahankan kemerdekaan. Mungkin jasad mereka tidak bisa ditemukan, namun nama mereka tetap harum hingga sekarang ini.

Apakah kita harus berhenti berjuang? Jawabannya jelas, tidak. Hidup kita ini layak diperjuangkan. Kita hidup karena hidup ini mempunyai tujuan. Nah, apa tujuan hidup kita, hidupku? Marilah kita refleksikan bersama-sama!

 Riswanto, SJ

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *