Aku Gelisah, maka Aku Berlari
(Refleksi atas Film “The Maze Runner“)
Banyak orang yang mengatakan bahwa film ini mengingatkan akan “The Hunger Games”, namun saya ingin merefleksikannya sebagai film yang sungguh berbeda. Film diangkat dari buku berjudul serupa, ditulis oleh James Dashner. Kisah berawal ketika seorang pemuda terbangun di suatu tempat tanpa ingatan sama sekali. Ia berjumpa dengan banyak pemuda lainnya yang mengalami hal serupa. Kepingan ingatan itu mulai tersusun dan ia dapat mengingat namanya, Thomas. Namun, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, mengapa ia berada di tempat tersebut, mengapa mereka dikurung dalam tembok labirin, apakah ada jalan keluar dari labirin tersebut.
Dirinya yang gelisah harus berkonfrontasi dengan orang-orang lama yang sudah merasa nyaman (diwakili oleh tokoh Gally). Gally berpendapat bahwa Thomas yang selalu ingin mencari jalan keluar dari labirin, justru membahayakan dirinya (dan teman-temannya) yang sudah nyaman di dalam tembok. Suasana menjadi semakin tegang ketika seorang pemudi (Teresa) dikirim disertai pesan bahwa dirinya adalah yang terakhir. Kedamaian status quo terusik dengan munculnya Griever, makhluk mengerikan yang mengobrak-abrik tempat mereka tinggal. Keputusan harus segera dibuat karena hidup-mati mereka tergantung dari keputusan tersebut, menerobos tembok labirin apapun resikonya.
Apa yang bisa kita refleksikan?
Dalam buku “Etika Dasar” yang ditulis oleh Rm. Franz-Magnis Suseno, SJ, dikatakan bahwa sebagai makhluk yang berakal budi, manusia memiliki pengertian. Pengertian berarti bahwa ia memahami adanya alternatif-alternatif untuk bertindak. Itulah sebabnya ia bebas. Ia dapat memilih berbuat ini atau itu. Oleh karena itu, manusia yang hidup sepenuh-penuhnya adalah manusia yang menyadari bahwa ia memiliki pilihan-pilihan dalam hidupnya dan dapat menggunakannya.
Dalam konteks hidup sebagai warga negara Indonesia, saya menatapkan hal ini dengan keramaian politik seputar Pemilu di Indonesia akhir-akhir ini. Seharusnya kita merasa gelisah dengan pilkada tidak langsung. Pertama, pilihan kita akan calon pemimpin dibatasi seturut keinginan beberapa orang saja bahkan ditiadakan karena beberapa orang tersebut tidak mendengarkan suara rakyat. Kedua, keputusan yang diambil segelintir orang untuk kembali kepada pilkada tidak langsung jelas-jelas menunjukkan bahwa rakyat tidak diberi pilihan untuk tetap pada pilkada langsung maupun kembali tidak langsung. Seorang Maze Runner lebih memilih mati di labirin dengan kesadaran bahwa ia punya pilihan daripada hidup nyaman di balik tembok tanpa pilihan hidup.
Riswanto, SJ
https://www.youtube.com/watch?v=64-iSYVmMVY