Manusia Kuat Berani Mengampuni

“Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti Aku telah mengasihani engkau?”

(Matius 18:33)

Kehidupan manusia adalah kehidupan yang kompleks. Ketika hidup di dunia, manusia dihadapkan dengan berbagai macam persoalan, mulai dari yang sederhana, hingga rumit. Di balik permasalahan yang dihadapi tersebut, manusia diajak untuk mampu belajar menyelesaikan dan menuntaskan permasalahan yang ada (Yusuf, 2019). Banyak yang berhasil, namun juga banyak yang belum berhasil. Kembali pada hakikat hidup manusia yang merupakan suatu “proses belajar”. Tak jarang sering muncul konflik antar pribadi manusia yang secara sadar atau tidak sadar menghasilkan energi negatif yang mengganggu relasi yang ada dan menimbulkan kemarahan, dendam, sakit hati dan atau perasaan-perasaan negatif lainnya.

Manusia seringkali gagal, dan melakukan dosa-dosa yang sama berulangkali. “Bagaimana cara memandangnya? Apakah memang manusia terlahir untuk berdosa?” Menjawab pertanyaan tersebut, ada sebuah perkataan dari Paus Fransiskus, “Many humble people confess that they have fallen again into the same sin. The most important thing in human life is not that they never fall. What matters is that they always rise to their feet and do not remain under licking his wounds.”. Dari perkataan Paus tersebut, manusia bisa belajar bahwa hal yang terpenting ketika jatuh dalam dosa adalah bangkit. Bangkit dalam hal ini bukan semata-mata memiliki arti untuk hidup dalam kehidupan setelah kematian, namun lebih ke arah bangkit untuk tidak lagi “menjilati” dosa-dosa yang telah diperbuat. Ketika jatuh lagi dalam godaan hingga akhirnya berdosa, seringkali manusia merasa bahwa ia hanya berputar-putar, dan tak ada kemajuan yang didapatkan (Opit, 2020). Sebenarnya, disitulah salah satu poin terpentingnya. Ketika manusia berusaha untuk bertobat, manusia tidak hanya kembali ke titik semula, tetapi bahkan lebih tinggi dari semula. Itulah yang dimaksud dari analogi spiral yang bisa sedikit menggambarkan keberadaan manusia saat bertekad untuk bertobat dengan semangat pertobatan yang penuh.

Memahami dan menyadari bahwa Allah itu Maha Rahim membuat manusia sebagai gambaran dari citra Allah juga memiliki kerahiman untuk mengampuni, mulai dari mengampuni diri sendiri. Menyadari bahwa walaupun berdosa, manusia harus terus memiliki keyakinan bahwa walau telah jatuh dalam lubang yang sama berulang kali, asal ada kemauan untuk bertobat, pasti akan bisa bertumbuh dan menjalani proses kehidupan di dunia dengan lebih baik dari hari ke hari. Didorong oleh keyakinan tersebut, manusia diajak pula untuk semakin bersolider dengan sesama dan berproses bersama fase pendewasaan masing-masing pribadi. Berdasarkan Katekismus Gereja Katolik (KGK), disebutkan bahwa “dalam iman, akal budi dan kehendak, manusia bekerja sama dengan rahmat ilahi: Iman adalah suatu kegiatan akal budi yang menerima kebenaran atas perintah kehendak yang digerakkan oleh Allah dengan pengantaraan rahmat.” (Thomas Aquinas, 2-2, 2,9). Melalui katekese tersebut,, manusia dapat memahami bahwa pengampunan yang tulus membawa damai bagi yang meminta dan bagi yang memberikan pengampunan bisa sangat menyembuhkan (Pranadi, 2018). Manusia yang rapuh dan seringkali jatuh selalu diberi pengampunan oleh Allah, lalu mengapa manusia yang adalah gambaran Allah malah sulit untuk mengampuni sesamanya?

Pengampunan yang merupakan tindakan seseorang untuk dengan sadar melepaskan perasaan dendam atau kebencian terhadap seseorang/kelompok yang telah menyakitinya terlepas dari apakah mereka benar-benar pantas mendapatkan pengampunan atau tidak merupakan sebuah nilai yang berlandaskan kasih. Memberi pengampunan sebenarnya bukan berarti melupakan kesalahan yang pernah terjadi, bukan pula berarti mengabaikan, melupakan, dan atau bahkan menyangkal perlakuan buruk orang lain. Pengampunan lebih ke arah melihat kesalahan orang lain dalam sudut pandang kasih. Manusia diajak berbenah untuk tidak lagi melihat selumbar yang ada di mata sesama, namun juga berkaca untuk melihat balok yang ada di mata diri masing-masing, lalu mengambilnya.

Disadari atau tidak sebenarnya semakin lama manusia hidup, maka semakin banyak pengalaman yang boleh didapatkan, perasaan yang boleh dirasakan, dan semakin banyak pembelajaran yang boleh diambil. Proses kehidupan manusia tersebut tidak lepas dari adanya perasaan disakiti ataupun menyakiti yang bisa saja dilakukan secara sengaja atau sebaliknya. Oleh sebab itu, semakin dewasa manusia, kemampuan dirinya untuk melihat lebih dalam seharusnya mampu menuntun manusia tersebut menjadi pribadi yang lebih menghargai, solider, dan mengasihi sesamanya. Berbagai agama dan kepercayaan mengajarkan umatnya untuk saling mengampuni seperti dalam agama Buddha yang biasa disebut istilah kshama (pengampunan demi nirwana). Kemudian dalam Hindu disebut sebagai konsep Tat Twam Asi yang mengajarkan bahwa manusia adalah bersaudara sehingga harus saling mengampuni dengan konsep “dia adalah aku, aku adalah mereka dan mereka adalah dia” (Aryana, 2021). Ada pula hari-hari besar yang digunakan untuk perayaan pengampunan, seperti dalam Islam ada Hari Raya Idul Fitri atau biasa dikenal sebagai Lebaran. Banyak sekali konsep untuk mengampuni diajarkan guna satu tujuan, yaitu mencapai kecerdasan emosional untuk mencapai hidup yang damai dan bermakna bagi Tuhan, sesama, serta diri sendiri.

Mahatma Gandhi yang merupakan inspirator tokoh pecinta damai di dunia, pernah berujar demikian, “Those who are weak will never be able to forgive. Only the strong can do it.”. Nilai yang bisa diambil dari kalimat tersebut adalah berkaitan dengan kecerdasan untuk mengelola emosi dalam upaya bersolider dengan sesama. Menyadarkan bahwa menjadi pribadi yang kuat itu bukan hanya secara fisik, namun juga kuat dalam jiwa dan roh. Salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah dengan mengingat mereka yang bersalah, dan membuka hati untuk mengampuni dalam upaya untuk meneladani Dia yang Maha Rahim. Sudah layak dan sepantasnya menjadi tugas manusia untuk mengampuni dan berani meminta maaf apabila melakukan kesalahan, sisanya adalah bagian dari Sang Pencipta yang mengatur dan mengadili semuanya secara adil, karena pada dasarnya, ukuran yang manusia pakai untuk mengukur, akan diukurkan pula pada sang pengukur.

Scholastica Susanti/Pendidikan Biologi USD

Pemenang Juara 2 Lomba Essay Beyoutival#3 2021

Referensi:

Yusuf, M. 2019. Manusia Sebagai Makhluk Pedagogik. Didaktika: Jurnal Kependidikan. 8(1): 9-16.

Aryana, I. M. P. 2020. Makna Etika Sebagai Landasan Mental Spiritual Pendidik yang Profesional di Zaman Milenial. Kalangwan Jurnal Pendidikan Agama, Bahasa dan Sastra. 10(1): 41-52.

Pranadi, Y. 2018. Kematian dan Kehidupan Abadi: Sebuah Eksplorasi dalam Perspektif Gereja Katolik. MELINTAS. 34(3): 248-271.

Opit, H. C. 2020. Hati Yang Terluka: Pastoral Konseling Bagi Orang Yang Mengalami Kepahitan Atau Luka Batin. POIMEN Jurnal Pastoral Konseling. 1(2): 52-73.

Dokumen Gereja

Kitab Suci Perjanjian Baru.

Katekismus Gereja Katolik (KGK) Artikel 155.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *