Kala Ahmad Wahib bertemu Bunda Maria

Oleh: Ahmad SM*

ilustrasi oleh @hisamalgibran.

31 Maret, 1973, di persimpangan jalan Senen Raya-Kalilio. Sebuah sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi menabrak seorang anak yang masih muda usianya. Ketika itu, anak muda tersebut baru saja keluar dari kantor majalah Tempo, tempat dia bekerja sebagai calon reporter. Tubuhnya terluka parah, dia ditolong lalu dibawa ke Rumah Sakit Gatot Subroto (RSGS). Oleh sebab kondisinya yang terluka parah membuatnya akhirnya segera dilarikan ke RSUP, meski akhirnya usaha itu sia-sia karena anak muda tersebut menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanannya menuju RSUP. Anak muda tersebut abadi dalam catatan harian yang dia tinggalkan (Lihat Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 1981). Dialah Ahmad Wahib, pribadi yang selalu gelisah.

saya tidak tahu apakah saya sudah berpikir terkutuk untuk terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah selesai. Mungkinkah semua itu akan membenamkan aku dalam pengembaraan abadi? Ah, beribu-ribu soal timbul di hati. Ratusan pertanyaan bergejolak di kepala tak diketahui jawabannya. Sayang sekali, tak seorang pun yang bisa mengerti bahwa pergelutan jenis ini mustahil terjawab forum interen.” (29 November 1969).

***

Terlahir pada 9 November 1942 di Sampang, Madura—lingkungan pergaulan Wahib di masa kanak-kanak dan remajanya adalah lingkungan agama yang kuat. Pak Sulaiman, ayahnya tergolong pemuka agama di daerahnya. Wahib sendiri, walaupun tidak bisa dikatakan pernah nyantri, sempat mengecap kehidupan pesantren. Keterbukaan sang ayah, seperti yang tertuang dalam catatan hariannya—memberinya kebebasan untuk memasuki jalur pendidikan umum.

Selepas tamat belajar di SMA Pamekasan pada tahun 1961 bagian ilmu pasti, Wahib muda melanjutkan studinya di Yogyakarta di Fakultas Ilmu Pasti dan Alam (FIPA) Universitas Gadjah Mada (UGM). Meski sampai pada ujung perkuliahan, dia tak sempat merampungkan studinya. Petualangan Wahib dimulai ketika menginjakkan kaki di kota yang di ujung kegelisahannya menjadi sama sekali tidak menarik baginya.

Ahmad Wahib dan Para Pastor Katolik

Di tahun-tahun awal di Yogyakarta, Wahib tinggal di sebuah asrama Katolik, Asrama Mahasiswa Realino, satu pilihan tempat tinggal yang tidak familiar ketika anak sepantaran dia yang berasal dari Madura yang dikenal dengan sebutan ‘Seribu Pesantren’ –memilih tinggal di asrama Katolik dan bukan tinggal di pondok pesantren. Meski dia memilih bergabung di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai wadah berorganisasinya, tempatnya berproses, menemukan kegelisahan, menemukan banyak kawan berdiskusi, menemukan banyak pengalaman, meski belakangan dia kritik habis-habisan.

Dalam bagian “Pendahuluan” buku Pergolakan Pemikiran Islam, sahabat sekaligus guru Wahib—Djohan Effendi mencatat bahwa catatan harian yang belakangan diterbitkan menjadi buku itu bermula ketika Wahib mulai tinggal di Asrama Realino pada 14 September 1962. Menurutnya, Wahib menulis sangat baik sekali, dari tanggal 14, 18 dan 30 September). Wahib juga menulis tentang bagaimana dia mencatat “anak-anak Islam” di Asrama Katolik itu—mereka yang ke masjid tiap jum’at.

Djohan juga mencatat bagaimana dia mendapatkan catatan Wahib ketika menjalani hari-hari terakhirnya “bermukim” di Asrama Realino pada 31 Oktober 1964, termasuk pesan-pesan dari Bruder Van Zon, Romo Stolk, Romo Willenborg, dan Romo De Blot—dimana kesemuanya dari Ordo Jesuit.

Dalam catatannya 16 September 1969, ketika Wahib mengalami guncangan dan tabrakan pemikiran dengan HMI, Wahib kemudian menghibur diri dengan melakukan kunjungan ke eksposisi liturgi Katolik di Kotabaru. Dalam catatannya, Wahib menulis “…dalam gereja mereka, Tuhan adalah pengasih dan sumber segala kasih. Sedang di masjid atau langgar-langgar, dalam ucapan da’i-da’i kita, Tuhan tidak lebih mulia dari hantu yang menakutkan dengan neraka di tangan kanannya dan pecut api di tangan kirinya…”. Pada bagian ini, meski sebelumnya Wahib sempat terguncang dengan interaksinya dengan kawan-kawannya di HMI, fragmen ini sepertinya akan membuat guncangan lebih besar ke sidang pembacanya di hari ini dimana auto-kritik adalah barang yang sulit ditemukan.

Masih di Kotabaru, dalam momen yang tak disengaja itu, Wahib bertemu dengan dua orang Romo atau Pastor Katolik yang sudah dianggap ayahnya sendirinya, dan juga sekaligus menjadi kyainya selama berada di Asrama Katolik. Masih dalam catatannya tertanggal 16 September 1969, Wahib menulis, “sama sekali tak terduga, kemudian aku bertemu dengan Romo yang pernah mengasuhku lebih dari lebih dari dua tahun, yaitu Romo H.C. Stolk S.J yang sekarang menjadi Rektor Seminari Agung di Kentungan. Alangkah mesranya, pertemuan kembali antara putra dan ayah berlainan paham: muslim dan kristiani. Kami saling menghormati dalam dialog karena sama-sama penganut pluralisme. Kami berbicara tentang benda-benda pameran satu per satu, kemudian antar agama, kehidupan pribadi masing-masing, tentang ensiklik-ensiklik Paus, tentang sikap-sikap wali gereja masa kini, tentang pergaulan kami di masa lalu dan macam-macam lagi.”

“dan selanjutnya secara tak terduga-duga pula aku bertemu dengan Romo Willenborg yang mengasuhku selama hampir tiga tahun. Kalau Romo Stolk masih aku saksikan mukanya yang berwibawa dan optimis, maka juga pada Romo Willin ini masih juga tak hilang-hilang gaya aslinya: kekanak-kanakan dalam bergaya dan kekerasan hatinya dalam berusaha. Aku dimintanya mampir kalau pergi ke Solo. Suatu kisah yang mengasyikkan setelah berpisah hampir 5 tahun. Aku tak tahu, apakah Tuhan sampai hati memasukkan dua orang bapakku itu ke dalam api neraka. Semoga tidak.” Siapa sangka, pertemuan di Kotabaru Wahib tersebut seolah mengajukan pertanyaan “haruskah umat Islam memusuhi mereka yang bukan Islam?”. Dan satu pertanyaan krusial dari Wahib sendiri, “Sampai hati kah Tuhan memasukkan para Pastor—yang sudah dianggap bapak oleh Wahib itu ke dalam neraka?”

Dalam salah satu komentar di Tempo per tanggal 19 September 1981, Gus Dur pernah menyebut Wahib bak tukang batu menghantam tembok, untuk menguji kekuatan dan daya tahan palunya ke tembok tersebut. Pemberontakan yang dilakukannya justru bertujuan mengukuhkan agama yang diyakininya, bukan justru menghancurkannya—seperti yang dituduhkan oleh sebagian orang.

Ahmad Wahib dan Bunda Maria

Wahib memiliki banyak dimensi pergaulan. Membawanya melihat dunia tidak zoom-in, namun lebih zoom-out dan menyaksikan luas dan kompleksnya manusia dengan tiap lapis diri dan identitasnya. Dalam catatannya tertanggal 18 September 1969, Wahib menulis pengalamannya, “…lingkungan sosio-kultural dimana aku hidup beberapa tahun ini mungkin aku berbeda sikap dengan teman-teman. Bagaimana aku disuruh membenci pemeluk Kristen-Katolik. Aku malah pernah satu keluarga dengan mereka. Aku pernah tiga tahun diasuh dan dididik oleh Pastor. Aku pernah bertahun-tahun tidur, bergurau, dan bermain bersama mereka. Jadi bagaimana mungkin aku bisa benci. Bayangkan lagi, aku pernah diundang ke pesta-pesta Natal dan Paskah mereka. Aku pun pernah satu klub renang dengan mahasiswa-mahasiswa Seminari Agung. Aku biasa masuk ke asrama calon-calon Romo tersebut. Aku juga masuk ke kamar kerja dan kamar tidur Pastor. Aku pernah pula semalaman tidur bersama seorang Pastor. Aku pernah naik andong bersama seorang suster dan aku antar dia sampai ke biaranya. Aku pernah diajari renang oleh seorang Pastor dan aku dipinjami sebuah swimpack. Aku pernah bonceng scooter dengan seorang Pastor. Kalau aku pernah ditraktir seorang suster, maka sebaliknya aku pernah ditraktir Pastor. Aku sering nonton film bersama-sama mereka, ngelencer bersama dan lain sebagainya. Lingkungan sosil-kultural yang khusus itu mungkin secara tidak sadar telah mempengaruhi jalan pikiranku….”.

Dari pengalamn Wahib di atas, terlihat Wahib menikmati tiap detail kemesraan atau keintiman hubungan dengan orang-orang yang berbeda dengannya, menjalin relasi dialogis yang membuatnya makin menyadari realitas ciptaan yang puspa warna, mencicipi rasa kemanusiaan yang sesungguhnya dimana hari ini amat jarang ditemukan oleh sebab prasangka dan kebencian menjadi tembok penghalang. Di samping, itu, sebagai putra Madura yang berangkat dari akar keislaman yang kuat, Wahib dalam catatannya tertanggal 13 Desember 1971 pernah menulis mimpinya bertemu dengan Bunda Maria.

“Tadi malam aku bermimpi bertemu Bunda Maria. Dia berbaju putih, berwajah agung penuh kekudusan. Bunda Maria tersenyum dan memandangku. Aku merasa bahagia dan sejuk dalam pandangan kasihnya. Aku sendiri bukan penganut Kristen. Tapi aku tidak tahu, mengapa aku merasa memperoleh kedamaian dan kebeningan fikir sewaktu berhadapan dengannya. Adakah yang seperti itu akan pernah terjadi dalam hidupku yang nyata? Aku merindukan dia yang penuh kebijaksanaan, yang pandangannya lembut dan teduh, yang setiap pernyataan pribadinya membuatku kagum dan hormat.

Berziarah ke pergolakan pemikiran Ahmad Wahib lebih dari tiga dekade silam mengundang sidang pembacanya keluar di ruang-ruang tanpa sekat primordial, tanpa sekat-sekat lahiriah-eksoterik, lalu masuk ke dalam ruang-ruang hati/batin-esoterik manusia, melihatnya sebagai sesama ciptaanNya yang mulia dan berharga. Wahib bertemu dengan banyak orang, terlebih yang berbeda identitas keagamaan dengannya, bukan penghalang baginya untuk belajar dari tradisi yang berbeda dan bertumbuh di dalamnya. Dan justru memperkaya Wahib di belakangan hari. Membentuk Wahib yang terus-menerus mencari bentuk dirinya yang otentik.

Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Buddha, aku bukan Protestan, aku bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku bahwa orang memandang dan menilaiku sebagai suatu kemutlakan (absolutely entity) tanpa menghubung-menghubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.” (9 Oktober 1969).

*Santri Pascasarjana Teologi UKDW Yogyakarta, Fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia.

4 thoughts on “Kala Ahmad Wahib bertemu Bunda Maria

  1. Perjalanan dan pengalaman hidup yg menyenankan. Perbedaan itu indah dan Katolik lebih indah, aku bersyukur ikut bagian yang terindah itu. kita diajarkan cinta kasih semoga cinta kasih akan menular seperti virus covid-19.

  2. Such a good writing..
    It is not a saying nor assumption. The experience talks much and shows that the harmony exist of every person zooms out find the humanity keeps human being a human.
    Bunch of thanks for the short inspirational articel.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *