“Apapun bisa dirampas dari manusia. Kecuali satu: Kebebasan terakhir seorang manusia- Kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan. Kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.”
-Viktor E. Frankl, dalam Buku Man’s Search for Meaning–
Pandemi memang membebani. Tidak bisa dipungkiri, beragam aktivitas yang biasanya dilaksanakan secara tatap muka, kini harus dilakukan di dunia maya. Hampir setiap hari seluruh umat manusia mengenakan masker ketika keluar dari tempat tinggal mereka. Dunia yang biasanya penuh dengan gegap gempita, kini tampak menjadi dunia yang sangat berbeda.
Lantas, apa kabar kaum mahasiswa yang masih harus berjuang memperdalam ilmu tanpa temu? Semua bahan perkuliahan menjadi sebatas teori karena minimnya akses untuk praktik secara langsung. Keterampilan praktikal pun pelan-pelan tergerus dan kejenuhan belajar mandiri di hadapan laptop pun mulai terendus.
Semester baru telah tiba. Jika biasanya awal semester disambut dengan antusias, kali ini mungkin disambut dengan ‘cukup malas’. Bagaimana tidak? Berdinamika dengan teman sekelas hanya sebatas angan. Nongkrong di kantin kala rehat pun tinggal sebatas kenangan. Realita yang akan dihadapi adalah kembali menatap monitor seharian, nugas setiap hari sambil rebahan, hingga kerja kelompok virtual yang kadang terasa melelahkan.
Mahasiswa masih manusia. Punya hati, punya rasa. Wajar jika sumpek, lelah, dan ambyar menjadi teman selama kuliah di dalam jaringan. Sesekali marah juga singgah ketika hati ingin mengatakan ‘sudah’, tapi situasi seolah berteriak lebih lantang ‘Belum selesai, jangan menyerah!’ Belum lagi hamburan pertanyaan yang kadang melintas tanpa permisi, ‘Angkatan Corona, besok kalau lulus, bisa apa?’
Bertolak pada situasi saat ini, wajar jika beragam pikiran ngalor-ngidul seperti itu bermunculan tanpa permisi. Lebih jauh lagi, wajar jika melahirkan harapan menjadi pekerjaan yang cukup sulit bagi hati nurani. Alhasil, diri hanya bisa diam, memendam, sambil sedikit-sedikit menyalahkan keadaan dalam bungkam. Kuliah di hadapan laptop seperti biasa, nugas seperti biasa, tapi ‘gairah’ sudah menguap begitu saja.
Tapi, kita masihlah manusia. Pada hakikatnya, manusia diciptakan berdaya atas segala situasi yang terjadi di alam semesta. Hal ini selaras dengan pernyataan Viktor E. Frankl dalam bukunya yang berjudul Man’s Search for Meaning, “Apapun bisa dirampas dari manusia. Kecuali satu: Kebebasan terakhir seorang manusia- Kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan. Kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.”
Benar. Banyak hal yang tampaknya dirampas dalam sekejap mata oleh Corona. Mulai dari pekerjaan, kesenangan, hingga langkah-langkah khusus yang telah disusun rapi untuk masa depan. Tapi, kita masih memiliki KEBEBASAN. Kebebasan untuk menentukan sikap atas keadaan saat ini. Kebebasan untuk menentukan jalan mana yang harus kita pilih.
Kita bisa memilih sambat terus menerus atas semua tugas yang terasa berat. Kita bisa memilih berhenti mengikuti kelas karena malas. Dan kita juga bisa memilih menyerah atas proses karena lelah dan amarah. Di sisi lain, kita juga bisa memilih untuk memaknai setiap tugas yang ada. Kita bisa memanfaatkan fleksibilitas waktu untuk mengasah diri serta keterampilan. Dan kita juga bisa memilih menjadi pribadi berdaya yang tahan banting terhadap proses.
Senang atau sedih, terpuruk atau bangkit, kecewa atau puas, itu semua kembali pada pilihan kita. ‘Rasa’ akan selalu melekat erat di dalam diri, tapi kita selalu punya pilihan untuk tetap ‘berdiam diri lalu tenggelam’ atau ‘menerima lalu melangkah lagi’. Setiap pilihan yang kita ambil jelas akan menentukan langkah dan warna hidup kita selanjutnya.
Maka, mari tanyakan pada hati, apakah ambyar menjadi pilihan terbaik untuk menyikapi situasi saat ini? Apakah diri akan terus menyalahkan keadaan hingga lupa bahwa hidup terus berjalan? Selama masih berpijak di muka bumi, kita masih memiliki kesempatan untuk berbenah dan memulai kembali.
Tenang, kita tidak sendiri. Ada Sang Pencipta yang selalu siap sedia menemani. Kalau kita sering merasa sendiri, mungkin kita masih terlalu asyik berkutat dengan keambyaran dan kekuatan diri sendiri. Gusti mboten sare, adhewe sing kakean turu. Makane, ayo tangi!
Nivea Galuh Iswarin (Psikologi 2017)