Seruan Dialog di Tengah Era Kebencian

Oleh: Ahmad Shalahuddin M*

Pax et bonum!

Dialog antar agama saat ini sedang digencarkan oleh beberapa pihak serta komunitas. Tak terkecuali dalam relasi Islam dan Kristiani. Relasi kedua agama samawi yang notabene bersaudara ini—dalam sejarahnya mengalami banyak sekali dinamika. Di satu sisi. tak dapat dipungkiri bahwa sejarah kelam peperangan antar kedua komunitas agama tersebut turut mewarnai sejarah umat manusia. Di sisi lain, upaya dialog dan perdamaian juga tak luput dilakukan sejak peperangan dan terus berlangsung hingga kini—abad ke-21.

Dalam sejarah hubungan antara Islam dan Kristiani, tidak kurang dari tiga momentum dalam sejarah Islam dan Kristiani. Pertama, bermula dari Perang Salib yang berlangsung dari tahun 1096 dan dianggap selesai hingga tahun 1291. Perang yang berlangsung kurang lebih 200 tahun ini tentu menimbulkan luka di masing-masing komunitas. Tak pelak dendam serta kebencian hari ini mungkin masih diwariskan dan terus diceritakan dari generasi ke generasi—baik di komunitas Islam maupun komunitas Kristiani.

Tak dapat dipungkiri bahwa konflik yang diwarnai aksi kekerasan dalam Perang Salib masih terus mewarnai narasi sejarah Islam dan Kristiani, sehingga relasi Islam dan Kristiani hari ini diakui atau tidak—suka atau tidak suka berdiri di atas sejarah yang berdarah-darah. Sejarah berdarah tersebut tentu tidak bisa dilupakan. Yang menjadi tantangan ke depan adalah bagaimana sejarah kelam tersebut tidak terulang lagi di masa kini. Di tengah pasang-surutnya relasi antara Islam dan Kristiani.

Tentu, upaya dialog menjadi hal niscaya untuk mengurai konflik tersebut. Ruang perjumpaan menjadi ruang yang sangat dibutuhkan ketika masih ada kalangan di kedua komunitas sibuk membangun tembok pembatas. Di satu sisi, perbedaan-perbedaan tentu menjadi jurang pemisah dan menjadi muara dari konflik.

Ketika perbedaan menjadi pemisah, tentu mencari persamaan adalah solusi untuk menjadi jembatan dialog. Perbedaan seringkali sangat ditajamkan seolah tak ada kesempatan untuk berdialog. Begitu juga dengan relasi Islam dan Kristiani—bahwa perbedaan teologisnya amatlah berbeda—satu menggunakan ajaran tauhid, satunya lagi menggunakan ajaran trinitas. Satu menganggap Isa itu nabi, satunya lagi menganggap Isa sebagai Tuhan, dan perbedaan lainnya.

Ketika kita disilaukan oleh perbedaan teologis tersebut, kita seolah disamarkan bahwa sebenarnya ada juga persamaan yang mengikuti perbedaan-perbedaan tersebut. Di balik perbedaan tersebut, Islam dan Kristiani sesungguhnya masih bersaudara. Dan ini adalah fakta! Layaknya saudara dalam keluarga, meskipun bertengkar dan punya konflik hebat, ia tetap bersaudara dalam satu keluarga. Demikianlah relasi antara Islam dan Kristiani.

Dalam perang salib yang berlangsung dari 1096 hingga 1291, tak banyak yang mengetahui bahwa di tengah kecamuk perang tersebut, di tahun 1219 M—tersebutlah seorang anak manusia bernama Fransiskus yang berasal dari kota Assisi yang berusaha memasuki kota Damietta, Mesir. Di tengah perasaan saling curiga, prasangka serta perasaan ingin saling meniadakan satu sama lain. Sang Fransiskus yang sudah lelah dengan peperangan ingin bertemu dan berdialog langsung dengan seorang raja Mesir kelima kala itu—Sultan Malik al-Kamil.

Meski perjumpaan keduanya tidak bisa menghentikan langsung kecamuk perang salib kala itu. Namun keduanya tetap sama-sama merindukan perdamaian karena di satu sisi mereka berdua sudah lelah dengan peperangan yang terus terjadi. “Ya Tuhan, jadikanlah kami sebagai pembawa damai-Mu”, ucap Fransiskus dalam doanya yang begitu terkenal.

Di samping itu, selain kisah tersembunyi tentang dua orang juru damai pada perang salib—dalam sejarah Kristiani, khususnya dalam gereja Katholik—upaya tersebut menemui momentumnya lagi pada tahun 1965 ketika gereja Katholik melakukan konsili Vatikan II yang kemudian menghasilkan beberapa dokumen, salah satunya adalah dokumen Nostra Aetate yang berarti “pada zaman kita”.

Dokumen Nostra Aetate ini berisi tentang hubungan Gereja—secara khusus Gereja Katholik dengan agama-agama non-Kristiani. Mulai dari Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, hingga Islam. Dalam dokumen tersebut, secara khusus—Gereja menghargai umat Islam yang menyembah Allah yang satu. Selain itu, terdapat ajakan atau dorongan kepada umat Islam untuk melupakan yang sudah-sudah, tulus hati melatih diri untuk saling memahami, serta bersama-sama membela dan mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan.

Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah dokumen yang lahir pada 2006, yaitu dokumen A Common Word (ACW). Dokumen ini lahir dari ruang polemik ketika Paus Benediktus XVI (Joseph Ratzinger) tengah menyampaikan pidato akademiknya pada 12 September 2006 di Universtas Regensburg Jerman—yang pada waktu itu beliau mengutip pandangan tentang Islam dari Kaisar Byzantium abad ke-14, Manuel II: “Tunjukkan kepadaku apa yang baru dalam ajaran yang Muhammad bawa, di sana kalian hanya akan menemukan doktrin-doktrin jahat dan tidak manusiawi, seperti perintahnya untuk menyebarkan imannya dengan pedang”.

Pernyataan tersebut mengundang banyak reaksi dari berbagai tokoh, komunitas, institusi serta negara. Di satu pihak, khususnya komunitas Muslim di seluruh dunia marah sembari menyatakan keberatan dan melancarkan protes. Dan di pihak lain, respon yang muncul adalah dengan cara menulis surat—yang diinisiasi oleh 38 orang intelektual Muslim dari seluruh dunia yang ditujukan kepada Paus Benediktus XVI. Surat tersebut pada intinya berisi dan bertujuan untuk mengklarifikasi sejumlah poin dari orasi Paus Benediktus XVI. Di antaranya adalah (1) prinsip dakwah dan jihad Islam, dan (2) konsep teologi Islam tentang Tuhan.

Selanjutnya, setahun kemudian—tepatnya tanggal 13 Oktober 2007, surat tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya surat yang ditandatangani oleh 138 pemuka agama serta intelektual Muslim dari berbagai penjuru dunia yang ditujukan kepada 28 pemuka agama Kristen di seluruh dunia, terutama di Vatikan. Surat yang berasal dari The Royal Aal al-Bayt Institute for Islamic Thought binaan penguasa tertinggi Yordania, yaitu Raja Abdullah II.

Surat yang bertajuk “A Common Word Between Us and You”—meminjam sebuah frase dari al-Qur’an yakni “kalimah sawā’ baynanā wa baynakum” (Q.S. Āl Imrān (3): 64) mendeklarasikan tentang kesamaan prinsip ajaran (common ground) antara Islam dan Kristiani. Pertama adalah mengasihi Allah (Loving God/Habl Min Allah) dan kedua adalah mengasihi sesama (Loving Neighbour/Habl Min an-Naas). Dengan mengacu kepada teks kitab suci kedua agama, yakni al-Qur’an dan Alkitab, serta melalui deklarasi tersebut, 138 orang pemuka agama dan intelektual Muslim di atas mengajak seluruh umat Kristiani untuk berpijak di atas kesamaan ajaran tersebut dalam rangka membina dan mewujudkan perdamaian dunia secara bersama-sama, karena perdamaian dunia sangat bergantung kepada harmoni hubungan antara umat Islam dan umat Kristiani.

Yang terakhir dan paling terbaru adalah dokumen persaudaraan (Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together)—hasil dari pertemuan antara Bapa Suci Gereja Katholik—Paus Fransiskus dengan Grand Syaikh Al-Azhar—Muhammad Ahmad At-Tayyeb pada 4 Februari 2019 lalu. Dokumen ini mengundang semua orang yang memiliki iman kepada Tuhan dan iman dalam persaudaraan manusia untuk bersatu dan bekerja bersama sehingga dapat berfungsi sebagai panduan bagi generasi mendatang untuk memajukan budaya saling menghormati dalam kesadaran akan rahmat Ilahi yang menjadikan semua manusia bersaudara.

Pertemuan dua orang tersebut sekaligus mengudang semua orang yang percaya dan yang tidak percaya, serta semua yang berkehendak baik untuk melakukan rekonsiliasi dan menjalin persaudaraan. Undangan tersebut juga disuarakan kepada setiap hati nurani yang jujur untuk menolak kekerasan dan ekstremisme buta; seruan bagi mereka yang menghargai nilai-nilai toleransi dan persaudaraan yang dipromosikan dan didorong oleh agama-agama. Lebih lanjut untuk, menyeru kepada semua yang percaya bahwa Tuhan telah menciptakan kita untuk saling memahami, bekerja sama satu sama lain dan hidup sebagai saudara dan saudari yang saling mencintai.

Dialog masih menjadi koentji

Apa yang baru-baru ini dilakukan oleh Paus Fransiskus dengan Ahmad Tayyeb pada bulan Februari lalu bukan merupakan hal yang baru. Dialog antara Islam dan Kristiani sudah dilakukan sejak beberapa ratus tahun lalu. Namun, satu hal yang menjadi catatan adalah dialog merupakan hal yang paling bisa dilakukan ketika manusia makin berjarak oleh karena maraknya rasa curiga dan prasangka buruk terhadap komunitas agama yang berbeda.

Dialog menjadi hal yang jamak kita temui di ruang yang plural—seperti kota Jogja. Namun di ruang yang homogen, ruang dialog seringkali sulit ditemukan. Di tengah bisingnya ujaran kebencian (hate speech), berita bohong, fitnah yang terjadi di media sosial hari ini menurunkan derajat kemanusiaan ke tempat yang serendah-rendahnya.

Mengutip Hans Kŭng, “tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama. Tidak ada perdamaian agama-agama tanpa dialog antar umat beragama”. Hari ini yang dapat dilakukan adalah dialog antar umat beragama—antar manusia yang mempunyai iman kepada Tuhan. Bahwa dengan perjumpaan dan dialog langsung—manusia bertemu dengan manusia, sehingga dialog yang murni, jujur serta yang penuh dengan ketulusan dapat terlihat dan dirasakan langsung.

Dalam dialog, ruang pemahaman akan terjadi bila terjadi proses saling belajar satu dengan lainnya. Belajar saling memahami persamaan dan perbedaan. Tak hanya persamaan saja yang perlu dipelajari—perbedaan pun perlu untuk dipelajari. Fakta bahwa Islam dan Kristiani berbeda, tidak bisa disamakan. Justru dari dialog, perbedaan dapat dipahami serta menumbuhkan ikatan persaudaraan sebagai manusia ciptaan Tuhan, meski dengan lekatan identitas yang berbeda.

Di era keterbukaan informasi seperti ini, seyogianya pikiran manusia ikut terbuka—namun masih ada saja beberapa yang tertutup di era keterbukaan ini. Apakah tempurung identitas dapat membutakan mata manusia ? Apakah hanya karena perbedaan agama manusia dapat melupakan bahwa seluruh di muka bumi adalah sama, yakni ciptaan Tuhan yang sempurna? Mencintai ciptaan-Nya sama artinya mencintai Sang Pencipta bukan?

Si vis pacem, para humaniorem solitudinem.

(Jika engkau menghendaki perdamaian, siapkanlah suasana damai sejati dengan cara-cara yang lebih manusiawi).

*Penulis adalah fasilitator Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia.

Artikel ini pernah disampaikan pada DIalog untuK AkSI (DIKSI) dengan tema “Bersama Merajut Persaudaraan Insani” di Kolese St. Ignatius (Kolsani) Yogyakarta, Kamis, 4 April 2019. Respon atas Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together (Dokumen Persaudaraan Manusia: Untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama).

3 thoughts on “Seruan Dialog di Tengah Era Kebencian

  1. Setuju penuh dengan Ahmad. Munculnya hoax dan ujaran kebencian harus dibendung dengan gerakan yang mengedepankan dialog. Konteks Indonesia, mengimplementasikan nilai niLai Pancasila didalam berdialog akan sangat produktif dan efektif menghasilkan relasi yang dalam, hangat dan sejuk antar agama agama di Indonesia. Akan lebih mudah merasakan apa yang dirasakan orang yg berbeda dengan kita karena sudah ada pertemuan pertemuan yg didalamnya ruang ruang dialog menjadi hal penting. Dengan berdialog sejatinya kita sedang merekatkan akal, rasa dan laku kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *