Sabtu, 4 Oktober 2014, Campus Ministry bekerjasama dengan Komunitas Paingan mengadakan Angkringan Lintas Iman dengan tema “Bersyukur Menjadi Indonesia”. Program tahunan yang diadakan dalam rangka menyambut Sumpah Pemoeda ini diisi dengan dua kegiatan, yaitu aksi jalan kaki dan dialog lintas iman. Kegiatan Angkringan Lintas Iman pada tahun ini menjadi istimewa karena bertepatan dengan tiga momentum perayaan keagamaan, yaitu Idul Adha yang merupakan hari raya kurban bagi umat muslim (peringatan keteguhan iman dan solidaritas pada sesama). Sementara tepat pada tanggal 4 Oktober, umat Katolik merayakan pesta St. Fransiskus Asisi, seorang pewarta iman, kasih, dan kesederhanaan, yang juga seorang pejuang perdamaian lintas iman. Di hari yang sama pula, umat Hindu juga sedang merayakan Saraswati, yaitu hari dimana turunnya ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.
Aksi Jalan Kaki ini dimulai dari Pura Jagatnata, Banguntapan dan berakhir di halaman Kapel Bellarminus, Mrican. Aksi yang bertemakan “Di Dalam Perbedaan, Kita Mampu Melangkah Bersama” ini diikuti oleh 165 orang peserta, yang terdiri dari mahasiswa Sanata Dharma dan beberapa perguruan tinggi lainnya.
Wakil Rektor III USD, Romo Patrisius Mutiara Andalas SJ, dalam sambutannya menegaskan bahwa berjalan kaki adalah bentuk dari doa yang didaraskan di dalam laku (tindakan), yang lazim dilakukan dalam tradisi peziarahan umat beriman. Romo Andalas berharap aksi jalan kaki ini juga menjadi doa orang-orang muda lintas iman yang digerakkan oleh kesadaran kolektif sebagai sebuah bangsa dan bersama-sama berziarah menuju kepada Sang Kebenaran sejati.
Senada dengan Romo Andalas, Ketua Pengempon Pura Jagatnatha Banguntapan, Bp. Budi Sanyoto juga menyampaikan harapan bahwa melalui bentuk gerakan orang-orang muda yang cerdas seperti ini, semangat kebersamaan dan persaudaraan sebagai satu bangsa diharapkan bisa terus hidup di dalam masyarakat kita, sama seperti semangat Sumpah Pemuda 86 tahun yang lalu. Sebelum berangkat menuju Kapel Bellarminus, dengan tata cara umat Hindu, Pak Budi memanjatkan doa untuk kelancaran acara dan keselamatan para peserta aksi jalan kaki.
Perjalanan dari Pura Jagatnata menuju Kapel Bellarminus Mrican memakan waktu kurang lebih satu jam. Para peserta berjalan dengan tertib dan berusaha untuk tidak mengganggu lalu lintas. Beberapa anggota Satuan Resimen Mahasiswa Ignasian USD ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini dan membantu ketertiban aksi jalan kaki.
Setelah sampai di Kapel Bellarminus Mrican, para peserta melepas lelah sejenak dan kemudian menuju lokasi kegiatan selanjutnya di Beringin Soekarno. Di lokasi ini, peserta terlebih dahulu menikmati angkringan dan lotis (rujak buah). Angkringan dipilih sebagai simbol ruang dialog khas Jogja yang egaliter, sementara lotis merupakan simbol dari keberagaman (buah-buahan) yang ada di bumi pertiwi, yang disatukan rasanya dengan sambal khas Indonesia.
Setelah puas menikmati angkringan dan lotis, para peserta melanjutkan dengan kegiatan Dialog Lintas Iman bertema “Bersyukur Menjadi Indonesia”. Dialog yang dipandu oleh Padmo Adi (mahasiswa Ilmu Religi dan Budaya, Program Pasca-Sarjana USD) ini menghadirkan para narasumber yaitu Romo Yoseph Suyatno Hadiatmojo Pr. (Paroki Kemetiran – aktivis Forum Persaudaraaan Umat Beriman); Pendeta Emiritus Bambang Subagyo, S.Th (GKJ Maguwohardjo – FPUB); Jay Akhmad (Komunitas Gusdurian Yogyakarta) dan perwakilan komunitas mahasiswa-mahasiswi lintas agama di USD.
Pendeta Bambang mengungkapkan perlunya membangun dialog dalam kesadaran sebagai sesama umat yang beriman. Artinya, dialog ini terjadi diantara orang-orang yang percaya dan terus berjalan menuju kepada Sang Kebenaran, meski berbeda institusi dan tradisi ke-agama-annya. Kesadaran sebagai sesama umat beriman ini harus diletakkan menjadi dasar agar setiap pihak tidak semata-mata terjebak pada perbedaan-perbedaan yang ada, namun berjalan bersama menuju pada kemasalahatan umat manusia.
Sementara Jay Akhmad mengungkapkan keprihatinan akan maraknya persepsi negatif yang tumbuh diantara para pemeluk agama, khususnya di antara orang-orang mudanya. Hal ini bisa jadi diakibatkan oleh kuatnya gaung suara kelompok-kelompok intoleran di Indonesia. Kelompok intoleran tersebut sebenarnya jumlahnya tidak banyak, namun seolah-olah mewakili wajah dari semua komunitas agama yang dipeluknya. Di sisi lain, kelompok yang memperjuangkan toleransi dan penghargaan pada keberagaman, tidak pernah benar-benar terdengar bersuara. Di sinilah sebenarnya peluang bagi komunitas orang-orang muda untuk memberi alternatif pada masyarakat. Masalahnya, orang-orang muda justru sering enggan untuk keluar dari zona aman komunitas agamanya. Oleh karenanya, Jay menegaskan bahwa orang-orang muda sebaiknya berani berjumpa dengan kenyataan hidup masyarakat yang beragam serta mengalami persentuhan secara langsung dalam kerjasama dengan kelompok agama yang lain secara luas dan mendalam. Dengan cara ini, cita-cita membangun penghargaan pada keberagaman tidak mudah dipatahkan oleh kuatnya suara-suara kelompok intoleran.
Romo Suyatno selanjutnya mengaskan bahwa dialog yang nyata terjadi di dalam aksi, yaitu tindakan nyata bagaimana sesama umat beriman bekerjasama untuk menanggapi keprihatinan dan permasalahan di dalam masyarakat. Beriman berarti juga bersolidaritas dengan penderitaan rakyat. Gus Dur dan Romo Mangun adalah dua orang beriman yang patut dijadikan teladan oleh orang-orang muda untuk mau berdialog secara nyata dan bekerjasama demi perbaikan hidup masyarakat.
penulis: Wahyu Nur Cahyo dan Antonius Febri Harsanto