Pengorbanan: Sebuah Refleksi Tablo

Jumat Agung, merupakan sebuah hari penting dalam iman seorang pengikut Kristus. Pada hari sebelum perayaan paskah itu mereka mengenang kematian Sang Juru Selamat yang harus wafat secara menyedihkan di atas kayu salib, Yesus Kristus atau Isa al-Masih. Saya bukanlah seorang yang mengimani Yesus/Isa ini sebagaimana teman-teman Kristiani mengimaninya, tetapi saya kerap kali melakukan refleksi yang terinspirasi dari kisah-kisah Sang Juru Selamat ini. Termasuk pada kisahnya saat Jumat Agung ini.

Pada Jumat Agung kali ini, saya melakukan refleksi dengan cara yang cukup berbeda dari refleksi saya biasanya. Jika biasanya saya hanya mendengarkan cerita dan atau mendengarkan penjelasan dari teman-teman saya yang Kristiani mengenai kisah sengsara Yesus ini sambil mencoba memahami apa yang mereka rasakan, di tahun ini saya ikut menjadi bagian dari duplikasi peristiwa beberapa abad yang lalu itu. Ya, saya berkesempatan ikut berperan pada Tablo Paskah (Visualisasi Kisah Sengsara Yesus Kristus) yang diinisiasi oleh teman-teman dari Campus Ministry Universitas Sanata Dharma.

Jujur, sampai saat saya menulis ini pun saya masih merasa kaget dan tidak percaya dengan hal tersebut. Sebab, bukan saja karena ini pertama kalinya saya ikut tablo, drama, teater atau yang sejenisnya, tetapi juga karena secara pribadi saya tak bisa benar-benar menghayati cerita ini dengan keimanan saya. Maka kesulitan saya ini semakin bertambah dengan ditunjuknya saya untuk menjalankan lakon sebagai Maria Magdalena. Saya memang tidak terlalu asing dengan namanya, tetapi saya tidak benar-benar mengetahui bagaimana kepribadiannya, latar belakang kehidupannya dan hal lain yang mempengaruhi kehidupannya hingga ia bisa bertemu dengan Yesus dan amat mencintainya. Informasi yang dituliskan di naskah tablo kami pun sangat minim untuk setiap tokohnya. Maka saya melakukan riset kecil untuk mencari siapa Maria dari Magdala ini dengan membaca alkitab, artikel, serta menonton beberapa film, seperti The Passion of The Christ, Killing Jesus, dan Marry Magdalene.

Maria Magdalena

Maria Magdalena. Seorang perempuan dari daerah Magdala. Ia merupakan salah satu murid perempuan pengikut Yesus Kristus. Maria Magdalena menjadi salah satu murid yang setia mengikuti Yesus menyebarkan kabar gembira dan sampai akhir setia mengikuti seluruh rangkaian persidangan Yesus sambil mendampingi Maria, ibu dari sang Kristus hingga di akhir cerita merasa sangat sedih dengan kematian gurunya tersebut yang harus mati di tiang salib. Sebelum menjadi murid setia dari Yesus, Maria Magdalena adalah seorang wanita, yang dalam banyak cerita, dikisahkan sebagai seorang pelacur yang pernah diselamatkan Yesus pada saat ia akan dihakimi oleh orang-orang Farisi. Namun dalam beberapa kisah yang lain disebutkan bahwa ia adalah perempuan yang pernah disembuhkan oleh Yesus saat dimasuki oleh iblis. Sampai saat ini pun saya belum menemukan dengan pasti siapakah Maria Magdalena ini di masa lalunya sebelum bertemu dengan Yesus. Satu hal yang sama, ia disebutkan sebagai orang pertama yang melihat penampakan sang guru pada saat kebangkitannya.

Setelah melakukan riset kecil-kecilan tersebut, pada akhirnya saya sedikit-banyak bisa memerankan Maria Magdalena yang menangisi Yesus, meskipun hanya dari sisi kemanusiaannya sebagai seorang murid yang harus melihat guru yang pernah menolongnya dan amat dikasihinya mati secara ‘hina’. Sebab, hukuman mati di atas kayu salib pada saat itu merupakan suatu hukuman yang paling keji sebagai simbol untuk menghinakan orang yang dihukum tersebut.

Karena menempati posisi sebagai seorang murid perempuan Yesus yang terus bersama-sama dengan sang ibu dan perempuan-perempuan Yerussalem lainnya selama persidangan Yesus, maka refleksi yang saya lakukan akan berangkat dari sudut pandang seorang murid, ibu, serta perempuan-perempuan lain yang menangisi kematian guru, anak, serta sosok yang dikasihinya, Yesus Kristus. Pada posisi ini, rombongan kami bisa dibilang menjadi rombongan minoritas yang tak kan didengar. Dimana pun posisi kami berdiri pada saat persidangan dan sebanyak apapun orang dalam rombongan kami ini. Sebab yang paling berambisi agar Yesus mati adalah para imam di Bait Allah, petinggi orang-orang Yahudi pada saat itu. Ketika imam Bait Allah sudah memutuskan untuk menghukuminya mati, maka senanglah orang-orang yang juga membenci Yesus dan menghasut masyarakat lain yang tidak terlalu mengetahui tentangnya pada saat itu.

Refleksi dari sisi sang ibu

Kami, para perempuan yang meratapi kematian Yesus, sebenarnya memiliki alasan masing-masing mengapa kami menangisinya. Sebab kami memiliki pengalaman tersendiri yang tak bisa dilupakan ketika bertemu dan bersamanya. Tetapi, untuk saya, entah mengapa yang menjadi pusat kesedihan yang paling memilukan ada pada sang ibu. Maria, sang ibu, yang telah mendapatkan Yesus secara ‘ajaib’, mengandungnya selama 9 bulan, menjaganya, mendidiknya hingga sebesar itu, pastilah memiliki kasih sayang yang tak kalah besarnya dengan ibu lain yang mendapatkan anak dengan cara yang ‘normal’. Dulu saya selalu berpikir bahwa sang ibu pastilah tidak terlalu sedih, sebab ia pasti sudah mengetahui bahwa anaknya itu akan diambil kembali oleh Yang Maha Memiliki, karena ia mendapatkan anaknya itu ‘langsung’ dari Dia Yang Maha Pemberi. Di samping, memang sang ibu merupakan orang yang memiliki kelebihan dalam hal kesholehan dan ketaatan kepada Tuhan. Tetapi saya salah. Sang ibu tetaplah seorang manusia, perempuan serta ibu untuk anaknya. Ia pasti memiliki perasaan ketika melihat seseorang, yang merupakan anaknya, mati dibunuh di depan matanya. Terlebih ia harus mati terbunuh di atas kayu salib, yang mana cara mati seperti itu merupakan cara mati yang paling hina pada saat itu. Perasaan itu merupakan perasaan seorang manusia yang sedih karena merasa kehilangan seseorang, perasaan seorang perempuan yang pilu karena lelaki yang amat dicintainya harus mati serta perasaan seorang ibu yang sedih, geram, marah, sakit karena melihat anaknya tersiksa. Saya menulis sedikit refleksi pada saat selesai latihan, tanggal 28 Februari 2019 lalu:

Bagaimana hendak tak hancur
Hati Bunda, melihat dagingnya dicambuk
Darahnya bercucur

Bagaimana hendak tak jatuh
Air mata Bunda, bercampur peluh
Sebab hatinya terasa perih, penuh

 “Anakku,
Darah dari darahku
Daging dari dagingku”
Rintihnya, pilu

Hukum telah dijatuhkan
Salib telah didirikan
Paku telah ditancapkan
Tali temali telah dikencangkan
Tak banyak yang bisa Bunda perbuat
Selain bersimpuh merintih
Sambil memanjat doa tertatih
Semoga anak bujangnya sampai di sebelah kanan Bapak dengan selamat

Bagi saya, yang bukan seorang pengikut Yesus dalam teologis, namun banyak terinspirasi darinya dalam nilai sehari-hari, kisah sengsara Yesus ini bukan hanya mengenai pengorbanan Yesus yang rela dirinya disalib demi para pengikutnya. Lebih dari itu, kisah ini juga mengenai pengorbanan orang-orang tersayang di sekitarnya yang rela menemani hingga masa tersulitnya. Terlebih pengorbanan seorang ibu, yang pasti akan mengorbankan apapun yang ia punya untuk anaknya. Sekali pun harus mengorbankan perasaannya yang terdalam.

 

Ghina Ainul Hanifah

Young Interfaith Peacemaker Community Jogja

Pemeran Maria Magdalena Tablo 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *