Bedo-bedo Ora Popo, Sing Penting Kumpul

Sing penting kumpul.

Berkumpul menjadi hal yang sebagian orang anggap sangat menyenangkan. Apalagi bila membahas hal-hal yang sifatnya mudah dan menyenangkan, bahkan guyonan yang receh. Namun akan malas bila berkumpul dengan membahas yang rumit dan banyak berpikir. Akan tetapi kedua sisi yang berbeda itu bisa disatukan menjadi satu. Seperti yang saya rasakan beberapa hari lalu di acara “Srawung Persaudaraan Sejati Orang Muda Lintas Agama 2018”. Ada suatu kalimat yang pernah saya dengar mengatakan “mangan ora mangan sing penting kumpul” (makan tidak makan yang penting kumpul), makan dalam kata ini menurut saya bukan diartikan secara harafiah makan makanan, namun saya mengartikan yang penting kumpul meskipun berbeda. Bedo-bedo gak opo-opo sing penting kumpul. Bagaimana tidak, karena peserta yang hadir berasal dari latar belakang agama yang berbeda, yakni ada Islam, Katolik, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, bahkan ada pula mereka yang memiliki aliran kepercayaan yang lain seperti Sapta Darma. Keberagaman Indonesia saya rasakan benar nyata pada acara srawung ini.

Srawung yang diselenggarakan di hotel UTC Semarang ini, masih membekas di ingatan saya. Mulai dari acara pembukaan yang dibuka oleh Bapa Uskup sendiri hingga diakhiri dengan stand up comedy yang kocak menutup hari pertama dengan gembira.  Kemudian hari selanjutnya pun tak kalah asik karena pada sore harinya saya bisa bernostalgia di masa kecil, yakni bisa bermain permainan tradisional jaman dulu yang kini mulai terlupakan, seperti main egrang, gasingan, engklek, dan juga bakiak dari batok kelapa. Meskipun tak semua permainan saya kuasai namun rasanya sungguh seru karena lucu dan sekarang sulit sekali dijumpai. Pada hari terakhir senang rasanya bisa misa bersama dengan saudara seiman yang berasal dari daerah jawa tengah yang beragam. Ternyata banyak pula orang-orang muda yang mau aktif di kegiatan seperti ini. Apa yang ditawarkan dalam acara Srawung ini sungguh indah dan bermakna. Namun dari beragam acara yang ditawarkan,  saya justru merasakan rasa srawung yang nyata dan paling tak terlupakan adalah ketika srawung di dalam kamar tidur.

Saya bersama rombongan Campus Ministry Universitas Sanata Dharma sebenarnya termasuk dalam deretan yang datang terlambat sehingga kami tidak ikut dalam acara cap tangan, yang kemudian hasilnya dipakai dalam acara pembukaan. Namun untung saja kami semua mendapatkan kamar, begitu pula dengan saya yang ternyata menjadi orang pertama yang membuka kamar C330, tempat saya tidur bersama dengan 8 orang lain yang belum datang dan belum saya kenal latar belakangnya. Satu persatu penghuni kamar saya bertambah. Adalah mas Edy dari Banyumas dan Arka dari Klaten. Mereka menjadi teman perbincangan saya pertama kali di Srawung ini. Perbincangan kecil yang cukup hangat di awal kemudian berlanjut ke perbincangan yang lebih berat mengenai politik dan agama. Kami berbeda umur dan latar belakang. Mas Edy beragama Islam dan sudah bekerja. Mas Edy senang sekali membaca buku tentang keagamaan. Sedangkan Arka beragama Katolik dan masih duduk di bangku SMA kelas 3. Satu perbincangan yang masih teringat dalam benak saya yakni perbincangan hangat tentang agama. Mas Edy mengatakan bahwa doa Bapa Kami ada juga yang berbahasa Arab. Jujur saja saya tidak bisa bahasa Arab bahkan tidak tahu bahwa ada terjemahan Bapa Kami dalam bahasa Arab. Beliau menunjukkan video lagu seorang muslim yang menyanyikan doa Bapa Kami dalam bahasa Arab kepada saya dan Arka. Tidak hanya menunjukkan video saja, tapi beliau ternyata bisa juga mendaraskan doa Bapa Kami dalam bahasa Arab tersebut. Seketika saya pun berdecak kagum karena beliau yang muslim bisa mendaraskan dengan lancar doa Bapa Kami tanpa merasa tidak nyaman. Kagum karena masih ada orang yang toleransinya tinggi terhadap agama lain. Mampu terbuka terhadap keberagaman agama.

Keberagamaan tak selalu menjauhkan. Keberagamaan ternyata tak membedakan. Bahkan keberagamaan itu menyatukan dan menguatkan. Srawung singkat yang saya rasarakan di kamar tidur dengan berdiskusi dan bertukar pikiran ternyata mampu menyadarkan dan menambah pandangan saya terhadap keberagaman. Membuat saya lebih mengenal satu dengan yang lain. Menjadi diri sendiri dan apa adanya dalam berkumpul adalah intinya. Mereka ingin mengenalmu dan saya pun ingin mengenal mereka. Ketika orang sadar bahwa orang lain menerimanya maka secara otomatis orang tanpa ragu akan mampu mengimprovisasi diri. Mayoritas dan minoritas tak menjadi masalah bila semua orang bersahabat dan memiliki jiwa toleransi. Tidak ada kata selesai dari acara ini. Justru ini menjadi awal bagiku untuk berani ikut ambil bagian dalam menyatukan perbedaan melalui sikap kritis dalam menyikapi permasalahan dan ikut ambil bagian dalam kegiatan terlebih kegiatan lintas iman.

Refleksi dari Hosea

Peserta Srawung dari Komunitas Paingan USD

 

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

2 thoughts on “Bedo-bedo Ora Popo, Sing Penting Kumpul

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *