Saya ingin mengawali permenungan kali ini dengan membahas judul yang para pembaca sekalian telah baca, “Menggemakan Kebenaran melalui Jalan Sunyi.” Dulu semasa SMA, guru sastra saya pernah menjelaskan suatu teori, bahwa judul itu baiknya dibuat di akhir penulisan sebuah karangan. Hal ini bertujuan agar judul tersebut dapat merangkum seluruh isi tulisan. Akan tetapi, entah dari mana datangnya, saya tiba-tiba tertarik dengan kata-kata di atas. Tanpa berpikir panjang, akhirnya kata-kata tersebut saya tetapkan sebagai judul, meskipun saat itu saya sama sekali belum terpikirkan bagaimana isi dari tulisan ini. Menabrak teori? Iya. Tetapi, dunia tidak akan pernah indah jika segala sesuatunya selalu selaras dengan teori.
Awalnya saya bingung mengapa saya memilih kata “menggemakan” sebagai pembuka dari judul dan bukannya “meneriakkan”. Setelah ditimbang-timbang, saya kira judul artikel ini memang lebih manis dan pas jika menggunakan kata “menggemakan” daripada “meneriakkan.” Bagi saya, alasannya sederhana. Pertama, kata “menggemakan” (gema), lebih banyak konotasi positifnya dibandingkan dengan kata “meneriakkan” (teriak). Kedua, jika dilihat dari segi ekonomis, “menggemakan” lebih menguntungkan, karena sekali ada suara yang berbunyi, suara tersebut akan berbunyi berulang-ulang dengan sendirinya. Sedangkan, “meneriakkan” terkesan kita harus mengeluarkan tenaga yang banyak hanya untuk memunculkan satu suara yang tidak dapat berbunyi berulang-ulang. Di samping itu, ketika menyandingkan kata “menggemakan” ini dengan kata “jalan sunyi,” paduannya akan memunculkan keindahan tersendiri. Hanya di dalam kesunyian dan kekosonganlah, gema itu dapat terdengar dengan lebih jelas.
Dari dua alasan yang saya ungkapkan di atas, masih ada satu alasan yang menurut saya paling menarik jika dijadikan pembahasan dalam artikel ini. Ketika mendengar ada orang lain yang berteriak dalam jarak dekat maupun jarak yang cukup jauh, umumnya orang akan merespon dalam dua cara, yaitu menghindar karena munculnya kebisingan akibat adanya teriakan, atau sekedar memasang telinga untuk mendengarkan isi teriakan tersebut. Tetapi, jika orang tiba-tiba mendengar sebuah gema, satu-satunya respon yang muncul dari orang-orang adalah mendengarkan dengan lebih seksama gema yang berbunyi tersebut. Bahkan pada kesempatan tertentu, orang tidak hanya sampai pada tahap mendengarkan dengan seksama, tetapi juga merasakan gema tersebut sampai ke hatinya. Hal ini mengindikasikan, bahwa untuk mendengarkan keindahan dari sebuah gema yang muncul diperlukan adanya kepekaan atau unsur kebatinan pada diri setiap orang.
Judul hingga tiga paragraf pertama ini saya pakai sebagai metafora bagi orang-orang yang memperjuangkan kebenaran tanpa diketahui banyak orang dan tanpa mengusik ketenangan hidup dari orang-orang yang memang tidak harus mengetahui perjuangan mereka. Salah satu kelompok yang turut berjalan di jalan sunyi ini adalah AJI (Aliansi Jurnalis Independen) dan ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika). Saya mengenal dan mengetahui eksistensi mereka juga belum lama semenjak mereka melakukan launching buku yang berjudul “Jurnalis Bukan Juru Ketik: Panduan Meliput Isu Keberagaman” pada 1 September 2018 kemarin. Melalui buku tersebut, saya mulai sedikit demi sedikit mengetahui bagaimana dinamika perjalanan aliansi-aliansi tersebut. Mereka merupakan dua dari sekian banyak aliansi yang memperjuangkan kelompok-kelompok tertindas karena arogansi pihak-pihak tertentu yang tidak menyukai keberadaan dari kelompok-kelompok tersebut.
Satu hal yang unik di sini adalah, untuk kali pertamanya saya mendengar ada pihak yang mengangkat jurnalis sebagai salah satu ujung tombak untuk membungkam pihak-pihak intoleran tadi agar fenomena pelanggaran dalam hal kebebasan beragama tidak terjadi lagi. Selama ini memang yang saya tahu, tidak banyak peristiwa semacam itu yang terekspos serta diperhatikan secara khusus oleh masyarakat dan pihak yang berwenang. Bahkan dari diskusi dalam acara yang saya ikuti ini, terungkap fakta bahwa tidak banyak jurnalis yang mau terjun untuk meliput, menulis, dan mempublikasikan fenomena tersebut. Kalaupun ada jurnalis yang mau meliput, seringkali berita yang dipublikasikan justru semakin memojokkan pihak korban. Akhirnya, hal ini membuat banyak pihak menutup-nutupi kasus yang terjadi, bahkan banyak korban yang memilih bungkam. Padahal dengan bungkamnya para korban dan pihak-pihak yang berwenang, kelompok-kelompok yang intoleran ini justru semakin arogan karena merasa tidak mendapat ‘teguran’ dari masyarakat.
Dari gambaran singkat tersebut, sudah selayaknya kita mengapresiasi mereka, dalam hal ini para jurnalis, yang berani mengambil sikap untuk terjun dan memberitakan kebenaran di jalan sunyi ini. Kita tidak pernah tahu seberapa rumit setiap pelanggaran yang terjadi, sehingga para jurnalis ini harus selalu menelusuri celah sempit dalam mencari informasi yang sebenar-benarnya. Kita juga tidak pernah tahu, apa saja yang dihadapi oleh para jurnalis selama proses peliputannya, termasuk segala bentuk teror yang mereka terima. Untuk itu, menurut saya, bentuk apresiasi yang paling baik bagi para jurnalis ini adalah menjadi gema bagi kebenaran yang telah mereka ungkap. Gema yang saling mengisi agar semakin banyak orang tergelitik baik telinga maupun hatinya untuk mau peka, mendengarkan, dan tergerak demi kebenaran yang selama ini tertutupi teriakan-teriakan kaum intoleran yang lebih nyaring. Jika setiap dari kita akhirnya mau ambil bagian dalam menjadi gema bagi suara kebenaran ini, maka perdamaian akan semakin dirasakan oleh banyak orang yang rindu akan suara-suara indah keberagaman di Indonesia.
_R_
(Rosminah)
Ignatian Study Club