Semangat Melawan Kekerasan

“Saya menyampaikan keinginan akan perdamaian yang tulus kepada bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia, kepada para kepala negara dan pemerintahan, dan kepada para pemimpin keagamaan, sipil dan masyarakat”. Kalimat tersebut merupakan penggalan pesan Bapa Suci Paus Fransiskus pada Hari Perdamaian Sedunia ke-50 pada 1 Januari 2017. Siapa yang tidak mendambakan sebuah perdamaian, bahkan pada setiap konflik yang ada pun selalu ada kerinduan untuk dapat hidup damai dan saling berdampingan dengan yang lainnya. Perdamaian untuk siapa saja, bukan hanya milik individu, golongan/kelompok maupun negara tertentu.

Berbicara perdamaian bukan perkara yang mudah karena apabila semuanya baik-baik saja maka tidak perlu ada usaha mewujudkan perdamaian. Terlalu banyak hal yang tidak baik di dalam hidup ini, yang secara tidak sadar seperti hal yang lumrah, salah satunya yaitu tentang kekerasan. Kekerasan dapat terjadi di mana saja, dari lingkungan terkecil sampai yang luas dan dapat dialami makhluk hidup khususnya manusia baik sebagai individu maupun kelompok. Perkembangan teknologi dan sarana komunikasi yang ada semakin cepat memberi informasi kepada kita, namun di sisi lain karena mudahnya informasi ini maka kita jadi terbiasa melihat kekerasan. Apabila hal demikian salah dimaknai maka dapat menjadi contoh bagi timbulnya kekerasan lainnya. Kekerasan satu dan lainnya timbul terus menerus berkelanjutan bagai sebuah rantai yang saling terhubung. Lalu, bagaimana cara supaya kekerasan dapat tumbang dan tercipta perdamaian?

Melihat jumlah manusia di dunia sekitar 7,6 miliar lebih jiwa ini (http://www.worldometers.info/world-population/) dan dengan latar belakang keluarga, pendidikan, dan lingkungan berbeda tentunya akan membentuk seseorang dengan berbeda juga. Pendidikan yang ada di dalam keluarga tentunya menjadi pondasi untuk pembentukan karakter seseorang yang nantinya berpergaruh kepada kehidupannya. Terkadang pendidikan yang keras disamakan dengan kekerasan, padahal, keras dan kekerasan itu merupakan dua hal yang berbeda. Pendidikan yang diterima seorang anak bisa saja keras namun tidak dengan kekerasan (violence). Pendidikan yang keras tidak akan menjadi sebuah tindak kekerasan apabila tetap menjaga manusia  secara utuh baik dari fisik, mental maupun nyawanya.

Bayangkan apabila banyak keluarga yang melibatkan kekerasan (karena sudah terbiasa, pengalaman masa lalu atau bisa juga meniru) dalam mendidik anggota keluarganya maka bukan tidak mungkin kekerasan itu juga akan terbawa kepada kehidupan di luar keluarganya, baik dengan orang lain maupun lingkungan yang lebih luas. Tindakan kekerasan cenderung menimbulkan kebencian, ketakutan dan keresahan sehingga jika telah memuncak maka pihak-pihak yang merasa menjadi korban akan melakukan perlawanan. Kecenderungan bentuk perlawanan secara klasik akan membentuk kekerasan juga sehingga jika dibiarkan akan menimbulkan pembalasan. Lebih dari itu, dapat menjadi siklus yang tidak memihak pada kehidupan yang layak dan menjadi sangat pelik apabila menimbulkan kematian. Jika ini yang terjadi, maka rantai kekerasan harus diputus.

“Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” (Matius 5:39). Bacaan ini sepertinya bisa menjadi sebuah refleksi bersama yang mendalam dan bukan sekedar mempermalukan seseorang semata. Ada makna mendalam yang terkandung, dalam hukum rabinis Yahudi, menampar menggunakan punggung tangan kanan mengandung arti penghinaan dua kali lipat daripada dengan telapak tangan saja. Menampar pipi kanan menggunakan punggung tangan kanan kemudian memberikan pipi kiri untuk ditampar lagi adalah cara elegan untuk mendapatkan sebuah rangkulan atau pelukan hangat dari telapak tangan kanan yang menampar itu. Bayangkan saja apabila tamparan itu dibalas, bukan tidak mungkin akan menjadi perkelahian yang entah apa jadinya. Mungkin sikap setiap orang akan berbeda dalam menghadapi kekerasan, tapi cobalah untuk melawan kekerasan di luar kebiasaan yang sudah biasa terjadi. Melawan kekerasan tidak dengan kekerasan, atau hal ini sering disebut dengan membangun tindakan anti kekerasan.

Banyak sekali tokoh dunia yang telah memberikan contoh gerakan anti kekerasan dan patut menjadi teladan dalam perlawanan kekerasan, sebut saja karya dari Bunda Teresa untuk pekerjaan kemanusiaan dan advokasi bagi hak-hak orang miskin dan tak berdaya di sekitar 123 negara (wikipedia.org), Mahatma Gandhi dan Khan Abdul Ghaffar Khan dalam pembebasan India, Dr Martin Luther King Jr dalam memerangi diskriminasi rasial tidak akan pernah terlupakan, dan Leymah Gbowee beserta ribuan perempuan Liberia, yang menyelenggarakan kegiatan doa dan protes antikekerasan yang mengakibatkan perundingan perdamaian tingkat tinggi untuk mengakhiri perang saudara kedua di Liberia.

Anti kekerasan sebaiknya diajarkan dari lingkungan yang terkecil, yaitu keluarga. Mulailah dari diri sendiri, ketika sudah bertumbuh dewasa akan menjadi pribadi yang bertanggung jawab, memiliki rasa hormat (respect) kepada orang lain, dan secara tulus berani untuk terbuka mengadakan dialog dan mengambil sikap dalam rangka membangun perdamaian melalui anti kekerasan.

Menutup tulisan ini, mari kita sendiri berani untuk memulai dan bertumbuh kembang dalam semangat perdamaian. Seperti kata Santo Fransiskus dari Asisi: “Ketika kamu memberitakan perdamaian dengan mulutmu, pastikanlah bahwa kamu memiliki kedamaian yang lebih besar dalam hatimu” (“Legenda Tiga Sahabat”, Fonti Francescane, No. 1469).

Heribertus Henta N

Ignatian Study Club

1 thought on “Semangat Melawan Kekerasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *