Agama, Pakaian Iman yang Indah

Mingkar mingkuring angkara

Akarana karenan mardisiwi

Sinawung resmining kidung

Sinuba sinukarta

Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung

Kang tumrap neng tanah Jawa

Agama ageming aji

Pupuh Pangkur bait 1

Serat Wedatama

KGPAA. Mangkunegara IV

 

“Agama, ageming aji…” ungkapan tersebut tiba-tiba membuat saya teringat akan satu bait pangkur dalam Serat Wedatama dan memberi sebuah insight. Secara khusus, satu baris tersebut jika diartikan secara harafiah akan bermakna “agama itu pakaian orang mulia.”

Orang Jawa secara bijak memberikan kiasan yang mendalam mengenai sebuah kehidupan beragama. Apapun agama yang diyakini, selalu dan pasti mengajarkan segala yang baik dan indah. Akan tetapi, melalui ungkapan tersebut, kita diingatkan bahwa agama hanyalah pakaian dan iman adalah jiwa dari kehidupan yang kita jalani. Lebih dalam lagi, dapat diartikan bahwa hanya orang-orang yang memiliki kesiapan batin dan ilmu luhur saja yang sebenarnya pantas untuk mengenakan agama sebagai pakaiannya. Lalu apakah manusia yang belum memiliki kesiapan batin dan ilmu luhur belum boleh beragama? Kalau saya yang menjawab, jawabannya ‘iya’. Akan tetapi sejauh mana kesiapan batin kita untuk mengenakan agama, hanya diri kita sendiri yang mampu menjawab.

Mari kita sedikit berfantasi. Jika ada seorang pencuri yang mencuri pakaian raja dan menyamar menjadi raja tersebut, maka apa yang ‘umumnya’ terjadi? Ia akan menggunakan kesempatan tersebut demi keuntungannya sendiri, bahkan mungkin dengan menindas orang lain. Dari fantasi tersebut setidaknya memberi gambaran kepada kita bahwa memang hanya orang yang ‘siap’ secara batin yang layak mengenakan pakaian iman. Kesimpulannya sederhana, jika ada orang yang belum siap beriman namun sudah mengenakan agama, maka akan muncul orang-orang yang munafik dan justru hanya dapat merusak kehidupan bermasyarakat sekelompok manusia (Kajian Sastra Klasik, 2017). Untuk itu, manusia harus memiliki kesadaran bahwa hal pertama dan utama yang harus dimiliki dalam dinamika bermasyarakat adalah keutamaan hidup atau kemuliaan jiwa, sehingga pakaian apapun yang dikenakan bukan lagi menjadi masalah penting.

Kabar baiknya, fenomena pencuri yang menyamar menjadi raja tersebut sudah menjadi hal yang saya (dan mungkin kita) rasa merupakan hal nyata yang ada di sekitar kita. Sangat sering kita mendengar dan melihat bahwa banyak orang mengatasnamakan agama sebagai pembenaran diri ketika mencederai tatanan kehidupan berbangsa. Ada kelompok yang memandang rendah orang lain karena alasan agama. Kelompok yang lain berusaha membela agamanya dengan jalan kekerasan. Kelompok yang lain lagi memaksa orang untuk masuk ke agamanya dengan kedok keselamatan yang ditawarkan dalam agama tersebut. Bahkan, ada kelompok yang berani melukai kehidupan dengan membunuh orang lain karena alasan agama. Kita boleh berpikir positif atas fenomena yang terjadi karena kita dapat belajar banyak dari apa yang telah terjadi. Akan tetapi kita juga diajak untuk prihatin dan berani mengambil sikap dari setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul sebagai bahan refleksi adalah, apakah agama memang identik dengan kekerasan?

Pertanyaan tersebut yang kemudian diangkat oleh Campus Ministry sebagai pembahasan dalam forum diskusi sederhana Ignatian Study Club yang diadakan pada hari Kamis, 5 Juli 2018. Dalam forum diskusi tersebut, saya secara pribadi diajak untuk kembali menelisik sejarah bagaimana agama mulai masuk dalam kehidupan manusia dan menjadi budaya yang merasuk dalam setiap sendi kehidupannya (Amstrong dalam Azra, tt). Berlatar dari buku-buku Karen Amstrong, pada mulanya manusia berkembang dari masa berburu dan meramu menjadi masa ketika manusia mulai mengenal cara bercocok tanam. Demi menjaga agar tanaman yang mereka tanam tidak rusak, maka rasa hormat kepada arwah leluhur dan dewa-dewi mulai menghantar mereka untuk melakukan kekerasan, salah satunya dengan menumbalkan musuhnya. Kondisi seperti ini terus berkembang ke dalam skala yang lebih besar ketika para penguasa negara berusaha memasukkan agama dalam hidup politiknya. Dari hal tersebut, kita tahu mulai banyak perang baik dalam skala kecil maupun besar yang ditimbulkan ketika para penguasanya memakai agama sebagai misi ketuhanan yang harus dilaksanakan demi menjaga eksistensi negara atau wilayahnya masing-masing. Dari seluruh peristiwa bersejarah tersebut, muncullah istilah politisasi agama dan akhirnya beberapa kelompok memiliki anggapan bahwa agama harus dipisahkan dari urusan kenegaraan agar menekan angka kekerasan yang ditimbulkan. Akan tetapi, setelah dilihat lebih jauh, beberapa negara yang mencoba memisahkan urusan agama dengan urusan negara juga masih memiliki bentuk-bentuk kekerasan tersendiri sekalipun tidak mengatasnamakan agama lagi.

Akhirnya, saya sampai pada kesimpulan bahwa kekerasan atau bentuk pencideraan terhadap makhluk lain secara umum bukan karena agama yang dianut oleh manusia tersebut, melainkan karena kualitas dari manusia itu sendiri. Manusia merupakan makhluk yang rapuh dan membutuhkan sarana agar dapat memenuhi sesuatu yang kurang dalam dirinya. Kemudian, ketika manusia sampai pada pemahaman bahwa ada kekuatan tidak terdefinisikan yang lebih kuat dari dirinya, manusia kemudian menggunakan kekuatan besar tersebut sebagai pelindung bagi dirinya dalam menghadapi kehidupan. Maka dari situlah mulai adanya ritual dari agama yang dianut oleh sekelompok orang.

Maka, ungkapan “agama, ageming aji,” saya rasa menjadi salah satu ungkapan yang pas untuk ditujukan bagi masyarakat beragama masa kini sebagai bahan refleksi bersama. Masih perlukah kita bermegah dalam agama yang sejatinya hanya ‘pakaian’ dari sesuatu yang selama ini kita imani? Ataukah kita bersedia untuk masuk lebih dalam dan mulai mengolah iman dan meraih kemuliaan jiwa? Sangat disayangkan jika kita hanya disilaukan oleh indahnya sebuah pakaian tanpa melihat siapa pemakainya. Jika itu yang terjadi, maka kita hanya akan terjebak dalam ritual-ritual keagamaan tanpa pernah mau melihat kedalaman batin kita dan mencari kemuliaan jiwa di dalamnya. Biarlah agama menjadi sebatas sarana dalam mengolah iman kita dan bukan menjadi apa yang kita imani. Salah satu teman saya pernah mengatakan, “orang beriman itu, selain percaya pada Tuhan, juga harus jujur. Antara hati, pikiran, perilaku, dan perbuatan harus sama, itu baru beriman.” Saya baru sadar bahwa apa yang diungkapkan oleh teman saya ini memiliki makna yang dalam jika mau diolah lebih dalam. Untuk itu selamat mencari kemuliaan jiwa dalam pakaian keagamaan yang kita masing-masing sudah kenakan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Yogyakarta, pada pesta peringatan St. Benediktus

Abas yang bersedia meninggalkan pakaian kebesarannya demi mencari Tuhan

Rabu, 11 Juli 2018

 

Rosalia Tatiana Govitkeva

Ignatian Study Club

 

Bibliografi:

Azra, Azyumardi (http://www.facebook.com/riniecom)

Kajian Sastra Klasik, 2017 (https://bambangkhusenalmarie.wordpress.com/2017/08/03/agama-ageming-aji/)

 

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true” id=”” class=”” style=””]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *