Fransiskus Asisi dan Dialog Kristen-Islam

Membangun Dialog Perdamaian di tengah Peperangan

Fransiskus Asisi dan Dialog Kristen-Islam

 

Merayakan Hari Pesta St. Fransiskus Asisi (4 Oktober) dan menyambut agenda rutin Campus Ministry, Angkringan Lintas Iman, perkenankanlah saya membagikan pembacaan saya akan sebuah buku yang sangat menarik. Buku ini berjudul“Santo dan Sultan: Kisah Tersembunyi tentang Juru Damai Perang Salib” (Penerbit Alvabet, 2013). Buku ini ditulis oleh Paul Moses, seorang jurnalis pemenang hadiah Pulitzer dan seorang profesor jurnalistik di Brooklyn College dan The City University of New York Graduate School of Journalism. Saya tidak akan membuat sebuah resensi, hanya sekadar membagikan pengalaman dan refleksi setelah membaca buku ini.

Latar peristiwa yang dikisahkan dalam buku ini adalah Perang Salib (1095-1291). Pada 1099 Pasukan Kristen berhasil merebut Yerusalem yang dikuasai pasukan Muslim, tetapi mengalami pukulan telak ketika Sultan Salahudin Yusuf Al-Ayyubi (Saladin) mengambil alih kembali kota suci itu pada tahun 1187. Setelah Paus Innosensius III meluncurkan Perang Salib Kelima pada awal abad ke-13, pasukan Kristen mulai berkumpul dan bergerak ke kota Damietta (atau Dimyat, sebuah kota di muara Sungai Nil) yang merupakan gerbang masuk ke Mesir, tempat Dinasti Ayyubiah berkuasa. Target mereka adalah menaklukkan Mesir dan merebut kembali Yerusalem.

Buku ini mengisahkan bagaimana Fransiskus dari Asisi, seorang biarawan sederhana, berusaha dengan caranya sendiri untuk menghentikan perang salib, yang saat itu telah berkecamuk selama lebih dari satu abad. Ia membangun perjumpaan dan berdialog dengan Sultan Malik al-Kamil Nasrudin Muhammad, penguasa Kesultanan Islam di wilayah Mesir, Palestina dan Siria.

***

Fransiskus (Giovanni Pietro di Bernardone) adalah anak seorang saudagar kaya, Pietro di Bernardone dari Assisi, Italia. Ia mendapatkan nama panggilan Fransesco, ketika ayahnya kembali dari kunjungan dagangnya di Perancis (Francese dalam bahasa Italia berarti orang Perancis). Sama seperti kebanyakan anak muda pada jamannya, ia juga adalah seorang pemuja nilai-nilai keksatriaan. Ia bergabung dengan pasukan Asisi untuk berperang melawan Perugia pada tahun 1203. Sayangnya, pasukan dari Asisi kalah dan Fransiskus menjadi tawanan perang. Hidup sebagai seorang tawanan selama satu tahun mengakibatkan terjadinya perubahan baik secara fisik maupun mental pada dirinya. Selain tubuhnya menderita akibat penyakit malaria, jiwanya juga terganggu karena trauma akibat kecamuk kekalahan di medan perang. Fransiskus selalu merasa hampa dan tertekan.

Setelah dibebaskan dari tawanan perang, Ia masih saja mengejar mimpinya dan bergabung dengan pasukan Walter de Brienne untuk ikut perang ke Apulia (Italia Selatan). Di Spoleto, sebuah kota tak jauh dari Assisi, ia memperoleh penglihatan. Dalam mimpi, ia mendengar suatu suara yang mengatakan kepadanya untuk kembali ke Assisi. Inilah awal mula pertobatannya. Ia kemudian mulai meninggalkan hal-hal yang dulu dia cintai dan kagumi. Ia mengisi hari-harinya yang hampa dengan mengarahkan dirinya kepada Tuhan. Fransiskus secara bertahap mengalami kebangkitan spiritual.

Pada musim gugur 1205, Fransiskus mengalami pengalaman spiritual dari Kristus yang tersalib di San Damiano, “Fransiskus, pergilah dan perbaikilah gerejaKu yang nyaris roboh ini”. Fransiskus tertegun sebentar lalu dengan yakin mengatakan bahwa suara itu adalah suara Yesus sendiri. Segera ia lari ke rumah, mengambil setumpuk kain sutera dari gudang ayahnya lalu menjual kain-kain itu dan hasilnya diberikan kepada pastor paroki San Damiano untuk membiayai perbaikan gereja. Tetapi pastor menolak pemberiannya itu. Fransiskus kini berbalik menentang nilai-nilai yang dianut keluarga dan teman-temannya, yaitu kekayaan dan kehormatan. Ayahnya yang marah besar lalu menghajar dan menahannya, namun Ibunya jatuh kasihan dan membebaskannya. Ia pun kembali ke gereja San Damian dan membagikan uangnya kepada orang-orang miskin. Ayahnya yang tidak berdaya lalu meminta bantuan Uskup Asisi untuk membujuk Fransiskus agar mengembalikan uang itu.

Fransiskus patuh pada Uskup. Di hadapan Uskup Asisi, ia mengatakan uangnya telah disumbangkan kepada orang miskin dan ia pun melucuti pakaian pemberian ayahnya. Tidak tega, Sang Uskup memberikan kepadanya sehelai mantel dan sebuah ikat pinggang. Itulah pakaian para gembala domba dari Umbria, yang kelak menjadi pakaian khas para biarawan ordo Fransiskan. Sejak saat itu Fransiskus memulai hidupnya sebagai seorang yang menjalankan perintah Tuhan secara total. Ia mengemis sambil berkotbah kepada orang-orang yang ada di sekitar gereja San Damiano. Ia menolong orang-orang miskin dan penderita lepra dengan uang yang diperolehnya setiap hari. Orang-orang di sekitar gereja San Damiano mengenalnya sebagai ‘Poverello’  (lelaki miskin).

Cara hidupnya yang miskin namun penuh kegembiraan dan kasih kepada orang-orang miskin dan menderita telah menarik minat banyak pemuda. Pada tahun 1208, dua orang pemuda bergabung bersamanya, yaitu Bernardo di Quintavalle dan Pietrro Cattani. Mereka membentuk sebuah komunitas “fratres minores” (persaudaraan hina dina). Persaudaraan ini kemudian diikuti oleh banyak pemuda di Asisi dan mereka-pun memulai pewartaan dan mempertobatkan banyak orang. Pada tahun 1209 ia menulis aturan hidup komunitas religius yang dibentuknya. Ia berangkat ke Roma pada tahun 1210 dan mendapat restu pendirian ordo religius dari Paus Innosensius III.

Kegigihan Fransiskus dan saudara-saudaranya, menggerakkan pula banyak pihak untuk bersimpati dan mendukung. Ordo Benediktin, memberikan hibah sebidang tanah dan kapel  untuk menjalankan karya mereka di Portiuncula. Juga seorang bangsawan bernama Orlando di Chiusi, yang memberikan sebidang tanah di atas bukit La Verna, di wilayah Tuscan. Semangat kerasulannya semakin membara dari hari ke hari. Fransiskus ditahbiskan menjadi diakon dan bertekad menjadi seorang diakon sampai akhir hayatnya. Ia menekankan kemiskinan absolut bagi para pengikutnya waktu itu. Sebagai tambahan pada kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan, ia menekankan juga penghayatan semangat cinta persaudaraan, dan kesederhanaan hidup. Dalam hatinya mulai tumbuh keinginan besar untuk mempertobatkan orang-orang yang belum mengenal Kristus di belahan dunia timur.

***

Musim panas 1219 Fransiskus berlayar menuju Mesir. Dia ada di sana saat pengepungan Pasukan Salib terhadap kota Damietta. Fransiskus nekat menyeberangi sungai Nil, ditemani sahabatnya, Bruder Illuminatus, untuk menemui Sultan Malik al-Kamil di garis pertahanan pasukan Muslim. Fransiskus dan Illuminatus tak kenal takut menghadap pemimpin besar dalam perang salib. Tujuan mereka hanya dua; menghentikan perang dan meminta sultan memeluk Kristen (!).

Kedatangan dua orang ‘bule’ yang mirip gelandangan, bertelanjang kaki dan berpakaian compang-camping ke garis pertahanan pasukan Muslim tentu saja membuat para pengawal Sultan bersiaga penuh. Mereka ditangkap dan disiksa. Fransiskus dan Illuminatus tak henti-hentinya berseru, “Sultan! Sultan!” Teriakan itu pada akhirnya menarik perhatian Sang Sultan, dan meminta kedua orang itu menghadapnya. Beliau berpikir barangkali orang-orang Frank (sebutan kaum Muslim terhadap pasukan Tentara Salib) telah mengirim utusan untuk membahas usulan perjanjian perdamaian. Sang Sultan, yang lelah oleh peperangan, sangat menginginkan adanya kesepakatan yang akan mengakhiri pengepungan pasukan di Diamietta. Ia pernah menawarkan perjanjian: bersedia menyerahkan kembali Yerusalem dan wilayah-wilayah lain yang pernah direbut oleh Salahudin kepada Tentara Salib, asalkan mereka menarik mundur pasukannya dari Damietta.

“Semoga Tuhan menganugerahi Anda kedamaian”, salam Fransiskus kepada Sultan Malik al-Kamil. Sultan tidak menyangka, gembel yang dianggap musuh dan telah disiksa itu begitu bersahabat dalam salamnya. Lalu Sultan-pun melanjutkan bertanya apakah mereka datang sebagai wakil pasukan Salib Sri Paus. “Kami utusan Tuhan Yesus Kristus,” jawab Fransiskus dengan mantap.

Yang ada di hadapan Fransiskus adalah orang paling berkuasa di wilayah Mesir, Palestina dan Siria saat itu. Sultan Malik al-Kamil adalah seorang pria berhati mulia dan cendekiawan yang belajar tentang dunia Kristen-Barat. Ia adalah keponakan Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi, panglima paling terkenal dalam sejarah Perang Salib. Sultan Malik-Al Kamil paham betul perbedaan makna yang dipakai Fransiskus ketika mengatakan bahwa dirinya adalah utusan ‘Tuhan’, bukan utusan ‘Sri Paus’. Ia tidak mewakili musuh, namun mewakili sesama orang beriman. Kesederhanaan dan keberanian, sekaligus kecerdasan pria miskin itu menarik perhatian Sang Sultan, mengingatkannya pada kaum sufi, mistikus Islam yang berpenampilan bak pengemis sederhana.

“Jika Anda bersedia memercayai kami, kami akan menyerahkan jiwa Anda kepada Tuhan”, ungkap Fransiskus. Sultan Malik al-Kamil semakin tertarik pada perkataannya dan mengizinkan Fransikus untuk terus berbicara. Kesempatan itu dipakai Fransiskus untuk berkotbah tentang ajaran kasih Yesus Kristus dan mengajak Sultan Malik al-Kamil untuk mengakhiri peperangan yang melelahkan. Dalam situasi perang seperti ini, Sang Sultan bisa saja memenggal kepala Fransiskus, atau menjadikannya sandera untuk ditukar dengan kebebasan kota Damietta, namun, ia justru memperbolehkan biarawan itu tinggal dan berdikusi bersamanya selama beberapa minggu.

Sultan Malik al-Kamil menerima Fransiskus dengan ramah, menghormatinya sebagai sesama orang beriman, dan mengizinkannya berkhotbah di hadapan dirinya dan para penasihat keagamaannya, yang adalah para penganut Sunni yang taat. Maka terjadilah dialog antar agama yang damai di tengah kecamuk peperangan yang paling mematikan. Fransiskus dan Sultan al-Malik saling berbagi pemahaman dan ajaran masing-masing. Setelah beberapa minggu berada di perkemahan sang Sultan, Fransiskus pun diantarkan kembali dengan aman ke perkemahan Tentara Salib. Sultan tidak pernah menjadi Kristen, Fransiskus tidak dibunuh dan perang salib tidak berakhir.

Sekembali dari perjumpaan dengan Sultan Malik, Fransiskus mengajak pengikutnya untuk membangun hidup damai dengan umat Muslim dalam usaha mengabarkan Injil. Sebuah anjuran yang sangat tidak popular pada masanya, di mana kepentingan agama (Gereja) dan kekuasaan politik-ekonomi seringkali berkelindan.  Gagasan itu tentu saja tidak mendapatkan restu dari para pemimpin Gereja, sehingga tidak heran kisah pertemuan dan dialognya dengan Sultan Malik al-Kamil itu tidak bergema dan jarang diakui. Di kalangan Kristen, Fransiskus dari Asisi lebih banyak dikenal sebagai orang suci yang mengasihi orang menderita atau biarawan miskin yang mendapatkan stigmata (karunia luka-luka seperti Yesus). Ia juga sangat terkenal sebagai sahabat bagi alam semesta dan dipercaya mampu berbicara kepada semua mahkluk, karena cintanya pada seluruh ciptaan Tuhan.

Meskipun dialog yang dilakukan itu bisa dikatakan gagal tapi misi yang dilakukan Fransiskus itu menandai usaha perdamaian dan membuka cakrawala baru bagi umat Kristen dan Islam. Tindakan Sultan Malik al-Kami juga mercerminkan rasa hormat tradisional kaum Muslim terhadap biarawan Kristen, sebuah tradisi yang diyakini berakar dari masa Nabi Muhammad.

***

Membaca kisah ini di tengah situasi bangsa kita sekarang, mau tidak mau mengajak saya untuk berkaca. Pengalaman kehidupan berbangsa kita menunjukkan, agama seringkali dipakai sebagai alat meraih kepentingan politik. Isu agama tak jarang diseret secara membabi-buta oleh para elit politik dalam rangka merengkuh kekuasaan. Demi mengamankan dukungan dari suatu kelompok, mereka tak jarang menebarkan kebencian dan propaganda untuk memusuhi, bahkan mengorbankan kelompok lain. Akibatnya, di level akar rumput, masyarakat menjadi tercerai berai dan muncul kecurigaan satu sama lain.

Kisah dialog Fransiskus dan Sultan Malik al-Kamil itu telah memberi inspirasi bagi umat beriman bahwa perjumpaan dan dialog menjadi cara yang lebih baik tanpa memandang umat lain dengan kecurigaan dan kebencian. Agama dalam kisah ini mampu mendorong pemeluk-pemeluknya yang taat untuk membangun jembatan dialog serta kesepahaman di tengah perbedaan dan bahkan peperangan. Jika hampir satu milenium yang lalu Santo Fransiskus dari Asisi dengan kesederhanaanya mampu menghidupi semangat dialog dan perdamaian, maka saat ini dimana keterbukaan dan ilmu pengetahuan telah berkembang pesat, tidak berlebihan kiranya jika saya berharap hal itu bisa dihadirkan kembali oleh orang-orang muda.

Selamat merayakan Pesta St. Fransiskus Asisi. Selamat berdialog di Angkringan Lintas Iman.

 

Yogyakarta, 3 Oktober 2017

Antonius Febri Harsanto

Kepala Campus Ministry

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

3 thoughts on “Fransiskus Asisi dan Dialog Kristen-Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *