Menjadi Sanata Dharma, Menjadi Indonesia

Menjadi Sanata Dharma, Menjadi Indonesia

Butir-butir keringat menetes di dahi sekumpulan anak muda itu. Ada yang memakai kerudung, ada pula yang berkalung rosario. Mereka duduk bersama di depan sebuah gerobak angkringan di kompleks Beringin Soekarno Kampus II Universitas Sanata Dharma. Meski wajah mereka nampak kelelahan, namun tawa ceria seringkali terdengar. Tidak jauh dari gerobak angkringan, sekumpulan anak muda juga terlihat tertawa lepas, saat mendengarkan lagu-lagu kocak atau celotehan komika yang beraksi di atas panggung. Siang itu mereka melahap bungkusan nasi kucing dan menikmati segelas es teh setelah bersama-sama berjalan kaki dari Pura Jagatnatha di Banguntapan ke Kapel Bellarminus di Mrican. Mereka sedang berkumpul di acara Angkringan Lintas Iman, sebuah dialog reguler yang digagas oleh para mahasiswa anggota komunitas mahasiswa berbasis agama di Universitas Sanata Dharma.

Hari itu, Angkringan Lintas Iman mengambil tema “Bersyukur Menjadi Indonesia”. Hari itu, 14 Oktober 2014, bertepatan dengan hari di mana sebagian umat Islam merayakan Idul Adha, umat Katolik memperingati pesta Santo Fransiskus Asisi serta umat Hindu merayakan Saraswati. Suasana hari itu terasa gamblang: tentang dialog, tentang solidaritas, dan tentang ilmu pengetahuan yang membawa manusia semakin beradab.

Ada beberapa sharing pemaknaan akan hari istimewa itu dari para mahasiswa yang berbeda agama. Mereka adalah Rizky, Sisca dan Kadek. Perkenankanlah saya menceritakannya kembali untuk kita semua.

 

***
Rizky, adalah seorang mahasiswa PGSD. Ia berasal dari Klaten, Jawa Tengah. Ia adalah salah seorang aktivis Forum Keluarga Mahasiswa Muslim Bina Ukhuwah Dakwah Islam Universitas Sanata Dharma (FKM Budhi Utama). Kekhawatiran menjadi mahasiswa muslim di universitas Katolik tentu pernah hinggap di benaknya saat tahun-tahun awal perkuliahan. Seiring berjalannya waktu, justru kekhawatiran tersebut tidak pernah benar-benar menjadi nyata. Ia bisa menjalankan sholat di kampus, ia juga bisa tetap berdinamika dengan teman-teman komunitas muslim, bahkan ia bisa berpartisipasi di hampir semua kegiatan kemahasiswaan baik di tingkat program studi, fakultas maupun universitas. Ia merasa kampus menjadi rumah yang bisa memfasilitasinya untuk berkembang sebagai pribadi, tanpa pernah memandang agama yang dianutnya.

Menariknya, ternyata lebih dari sekali ia terlibat dalam kepanitiaan perayaan Natal maupun Tri Hari Suci di Kapel Bellarminus. Ia tahu bahwa di saat Natal dan Paskah para mahasiswa katolik banyak yang pulang kampung untuk merayakan bersama keluarga. Oleh karenanya, dengan sadar ia ingin membantu pelaksanaan misa. Pada awalnya banyak dari teman-teman Katolik yang justru bingung ketika ia dan beberapa teman muslimnya mendaftar ke Sekretariat Campus Ministry untuk terlibat dalam kepanitiaan. Mungkin ada yang merasa aneh, mungkin ada juga yang mencurigai. Ia biasanya mendaftar untuk menjadi seksi perlengkapan atau dokumentasi karena ia sadar betul tidak bisa membantu untuk urusan liturgi.

Suasana kampus mengingatkan Rizky pada suasana di kampungnya. Saat ada tetangga yang sedang punya gawe (hajatan) atau nandhang sripah (berduka), tentu setiap orang berusaha memberikan bantuan dari yang mereka bisa, tanpa memandang ia beragama apa. Di kampus ini, ia merasa merdeka untuk bisa terlibat dan menjadi sesama bagi yang lain.

Hari itu, 4 Oktober 2014, sebagian umat Islam sudah merayakan Idul Adha. Hari itu adalah momentum di mana umat Islam merefleksikan semangat kurban yang diturunkan dari kisah Nabi Ibrahim. Kurban berasal dari kata Qurb, yang berarti dekat. Maka berkurban bisa dimaknai sebagai memberikan yang terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ritual kurban pada akhirnya tidak hanya bermakna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Tuhannya, akan tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama, terutama mereka yang miskin dan terpinggirkan. Semangat hari raya qurban adalah semangat iman yang teguh kepada Allah dan solidaritas kepada manusia. Maka tidak heran jika di kampung-kampung di Yogyakarta dan Jawa Tengah, kita sering menemui daging kurban tidak saja dibagikan kepada para dhuafa, namun juga kepada siapa saja yang menjadi ‘sesama’ di kampung mereka, apapun agamanya, apapun status sosialnya. Ini pula yang mengingatkan Rizky, bahwa beriman itu harus mewujud dalam hidup sehari-hari, yaitu membangun ukhuwah (persaudaraan) dengan sesama manusia.

 

***
Sisca, seorang mahasiswi Pendidikan Fisika. Ia berasal dari Kuningan, Jawa Barat. Ia adalah anggota lektor (pembaca Sabda Allah pada saat Misa) dari Komunitas Paingan. Di kampus Universitas Sanata Dharma, Sisca dan teman-teman katoliknya memang tidak pernah merasakan kesulitan untuk mengaktualisasikan diri. Bagaimanapun Sanata Dharma adalah perguruan tinggi katolik. Namun justru atas kesadaran itu, Sisca merasa perlu untuk berbuat lebih bagi teman-teman berbeda agama yang juga menuntut ilmu di kampus ini. Ia sangat gembira justru ketika harus berbagi ruang kegiatan Campus Ministry Paingan dengan temanteman FKM Budi Utama yang akan mengadakan kajian-kajian Islam, di saat para lektor melakukan latihan rutin membaca Alkitab.

Sisca dan teman-teman Komunitas Paingan juga-lah yang pada akhirnya mempunyai ide untuk mempertemukan komunitas-komunitas lintas agama di kampus dalam kegiatan yang khas anak muda: kompetisi futsal. Ia sendiri tidak bisa bermain futsal, tapi menurutnya futsal bisa menjadi ajang perjumpaan yang baik bagi mahasiswa lintas iman. Olah raga selalu menjadi sarana keterlibatan dan membangun persahabatan, seperti credo olimpiade “The most important thing is not to win but to take part”. Maka, sejak 2013, setiap selesai masa ujian tengah semester (April dan Oktober), biasanya diadakan lomba-lomba olah raga antar komunitas lintas agama di lapangan Paingan. Dari yang awalnya hanya futsal, kini sudah berkembang di cabang lainnya seperti bola basket dan bola voli. Setelah lomba biasanya mereka menghabiskan waktu sambil ngobrol dan nongkrong di lapangan Paingan. Hadiahnya, selain trophy ada pula makanan ringan, yang sering dinikmati bersama-sama, entah mereka menang entah tidak.

Hari itu Pesta Santo Fransiskus Asisi, dan Sisca seperti umat Katolik lainnya, tergugah untuk merefleksikan semangat dialog yang diperjuangkan oleh sang Santo. Fransiskus Asisi adalah seorang pewarta yang terlibat dialog mendalam tentang iman Kristen-Islam dengan Sultan Malik al-Kamil di tengah terjadinya Perang Salib. Memang, setelah pertemuan itu Perang Salib masih terus berkecamuk. Namun pertemuan antara Santo dan Sultan itu bagai sebuah oase di tengah padang gurun peperangan dan sebuah embrio bagi munculnya dialog Kristen-Islam. Inilah yang menggerakkan Sisca, si lektor, untuk terus
menghidupi harapan tentang dialog dalam keberagaman. Sisca dengan caranya telah mengusahakan dialog dengan teman-teman mahasiswa berbeda agama di kampus ini, meskipun saat ini ia merasa bahwa suara-suara intoleran di luar sana terdengar lebih nyaring daripada suara yang memperjuangkan penghargaan pada dialog dalam keberagaman. Ia sadar betul bahwa Yogyakarta, tempat di mana orang-orang muda menuntut ilmu, tidaklah se-indah dan se-romantis yang sering digambarkan banyak orang. The City of Tolerance sering pula menampilkan wajah-wajah intoleransi. Pembubaran kegiatan agama, penutupan tempat ibadah, penolakan pada kelompok mahasiswa yang berasal dari daerah tertentu, tidak jarang mewarnai kota yang sarat dengan nilai-nilai budaya ini.

Bisa jadi suara-suara intoleran tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup masyarakat, namun bagi Sisca, harapan untuk membangun perjumpaan dan dialog di tengah keberagaman adalah sesuatu yang sangat layak untuk diperjuangkan.

 

***
Kadek adalah seorang mahasiswi Hindu yang berasal dari Kabupaten Buleleng, Bali. Ia sedang belajar Psikologi. Ia juga aktif di Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma, baik di kampus maupun di Yogyakarta. Pada awalnya tidak terfikirkan bahwa ia akan kuliah di universitas katolik. Lewat Google, ia mencari program studi psikologi yang unggul di tanah air. Pilihan jatuh ke Universitas Sanata Dharma. Ia baru menyadari Sanata Dharma adalah universitas Katolik saat ada misa pembukaan tahun akademik. Tahun berlalu dan ia merasa nyaman di kampus ini.

Kadek merasa pilihannya tepat. Ia menemukan tempat mengembangkan diri lewat jalur akademik. Menurutnya, kuliah di Prodi Psikologi Sanata Dharma tidak membosankan karena mahasiswa juga diberi kesempatan untuk belajar dari lingkungan sosial. Ia teringat sebuah mata kuliah di mana para mahasiswa diajak untuk bertemu dengan pasien sebuah rumah sakit jiwa di daerah Pakem. Dari sana ia banyak belajar memahami manusia yang sangat unik, yang memiliki kehendak bebas dan juga harapan-harapan. Yang terkadang kehendak dan harapan itu tidak mewujud menjadi kenyataan yang dapat diterima masyarakat. Ia pernah berbincang cukup mendalam dengan seorang pasien yang bahkan mempunyai pandangan yang mendalam tentang hidup. Ia belajar banyak dari pengalaman pasien di rumah sakit jiwa! Melalui perjumpaan itu, ia memandang para pasien bukan sebagai pesakitan, tetapi sebagai manusa. Di Universitas Sanata Dharma, Kadek merasa bahwa belajar harus nyambung dengan realitas hidup manusia. Ia terkesan betul dengan motto universitas ini: Cerdas dan Humanis!

Hari itu, Kadek ikut berjalan kaki dari Pura Jagatnatha menuju Kapel Bellarminus, setelah merayakan upacara Saraswati. Bagi umat Hindu seperti dirinya, hari itu adalah peringatan turunnya ilmu pengetahuan yang suci kepada umat manusia. Ilmu pengetahuan adalah dasar manusia untuk bersama mengusahakan kemakmuran, kemajuan, perdamaian, dan meningkatkan keberadaban umat manusia. Ilmu pengetahuan yang memuliakan kemanusiaan inilah yang membuat Kadek tergerak hatinya untuk terus menimba ilmu dan mengabdikannya pada sesama.

***
Angkringan Lintas iman telah mempertemukan ketiga orang muda itu: Rizky, Sisca, dan Kadek. Angkringan, bagi sebagian besar orang Yogyakarta, bukanlah sekedar warung makanan murah. Angkringan adalah juga tempat di mana dialog akan situasi sehari-hari masyarakat terjadi. Angkringan adalah susasana merdeka milik masyarakat untuk mengungkapkan keprihatinannya, tanpa memandang status sosial, tanpa protokoler, tanpa merasa takut untuk dipandang wagu ataupun saru (aneh dan tabu). Mungkin suasana kampus Universitas Sanata Dharma memang lebih mirip dengan angkringan daripada restoran mewah. Kampus ini mungkin memang menyediakan saat dan tempat bagi siapapun untuk saling berbagi pengalaman hidup, tanpa memandang dari mana mereka berasal. Kampus ini pada akhirnya menawarkan kebebasan dan kemerdekaan bagi siapa saja untuk tumbuh dan berkembang dengan segala potensinya.

Perjumpaan hari itu terasa semakin menarik ketika terjadi di kompleks Beringin Soekarno, sebuah taman dengan pohon beringin yang ditanam oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 sebagai peninggalan bagi IKIP Sanata Dharma kala itu. Beringin adalah simbol pengayoman dan penghidupan bagi siapa saja. Dan hari itu, lima puluh empat tahun setelah pohon beringin ditanam, puluhan mahasiswa Universitas Sanata Dharma ngangkring bersama di Beringin Soekarno, berdialog tentang harapan menjadi Indonesia yang dikaruniai keberagaman.

Hari itu mereka makan dan berbagi pengalaman setelah sama-sama berjalan kaki, berziarah dari Pura Jagatnatha Banguntapan ke Kapel Bellarminus Mrican. Mereka berdoa, semoga setiap langkah perjalanan mereka, menjadi doa dan wujud rasa syukur atas besarnya kasih Tuhan yang menciptakan mereka sebagai saudara, meski saling berbeda. Hari itu mereka bersyukur menjadi orang-orang yang beriman dan berbagi ruang hidup yang sama: di Sanata Dharma, di Indonesia!

Antonius Febri Harsanto
Kepala Campus Ministry

sumber: Buku Hatiku Tertambat Padamu

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *