MENJADI MINORITAS, MENJADI TAK TERBATAS
Made Dewinta Cahyaningtyas (Juara I Lomba Esai SALT 2016)
Fakultas Psikologi – Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Bagaikan rangkaian manik-manik yang indah: memiliki bermacam-macam warna, hijau, kuning, coklat dan biru saling bertautan, kecil dan besar dengan bentuk unik yang beragam. Begitulah wajah Indonesia jika dilihat dari ketinggian, atau paling tidak jika kita ingat kembali pelajaran geografi, yang telah memperkenalkan indahnya negeri ini dari saat kita belum mengerti bahwa pendidikan itu berarti. Kekayaan dan keberagaman Indonesia sudah mulai kita ilhami sejak guru Sekolah Dasar (SD) kita, yang walaupun bukan penyanyi dengan sangat bersemangat berusaha membuat kita akrab dengan nada dan lirik lagu “Dari Sabang sampai Merauke”. Dalam buku Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) terpadu, indah digambarkan berbagai pakaian khas dari masing-masing daerah di Indonesia. Nama-nama rumah adat, alat musik tradisional, kesenian daerah, hingga lagu-lagu daerah yang fasih kita dendangkan bersama. Tidak lupa juga keberagaman agama, suku, ras, etnik, dan tradisi unik yang mengikutinya.
Saya berasal dari salah satu manik-manik itu. Sebuah pulau kecil di tengah bentangan pulau-pulau di Indonesia. Sebuah pulau dengan perkembangan kehidupan modern yang cukup massif karena pariwisatanya yang maju, yang membuat keberagaman hidup cukup terlihat di pulau tersebut. Ada yang menyebutnya serpihan surga, pulau dewata, pulau seribu pura, dan sebutan lain yang mencirikan eksotisme pulau ini. Bali adalah nama resminya. Perkembangan pariwisata yang sangat pesat membuat Bali seolah menjadi dunia kecil, yang merepresentasikan keberagaman yang ada di seluruh belahan bumi. Meskipun demikian, penduduk asli Bali secara umum tergolong homogen. Mulai dari adat, tradisi, budaya, bahasa, dan agama. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu, dengan berbagai ritual keagamaan yang telah melebur menjadi budaya yang kemudian menjadi daya tarik bagi pulau ini. Saya tumbuh besar di lingkungan yang cukup homogen tersebut, yang terbiasa menerima pujian dari dunia atas indahnya ke-“homogen”-an kami. Hal tersebut membuat kami menjadi sangat mencintai identitas kami sebagai orang Bali, sebagai umat Hindu dengan berbagai ritualnya yang unik dan menarik bagi masyarakat luar.
Posisi sebagai mayoritas, terutama dalam hal keyakinan membuat saya sama sekali tidak pernah merasa kesulitan untuk melakukan berbagai aktivitas keagamaan sehari-hari. Seluruh aspek masyarakat benar-benar mendukung dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat Hindu di Bali untuk melakukan berbagai ritual keagamaan. Setiap rumah di Bali memiliki pura keluarga masing-masing. Setiap sekolah umum, baik swasta maupun negeri juga menyediakan tempat ibadah bagi umat Hindu tersebut. Instansi pemerintahan dan berbagai tempat umum juga selalu dilengkapi dengan pura. Sebagai agama dengan ritual keagamaan yang sangat banyak (setiap 15 hari, 1 bulan, 6 bulan, 1 tahun sekali), saya sebagai umat Hindu sendiri tidak mampu mengingat keseluruhan hari untuk ritual tersebut. Tetapi karena berbagai media lokal dan mayoritas masyarakat Bali adalah umat Hindu, saya tidak perlu khawatir akan melewatkan perayaan ritual keagamaan yang ada. Media lokal dan sesama masyarakat akan saling mengingatkan, sehingga saya tidak perlu mengingat tanggal perayaan hari raya secara mendetail (umat Hindu Bali memiliki sistem penanggalan tersendiri untuk perayaan keagamaannya).
Terbiasa hidup dengan berbagai kemudahan membuat masyarakat Bali secara umum cenderung merasa sangat nyaman berada di lingkungannya sendiri. Perasaan nyaman yang berlebih terkadang justru membuat sebagian dari kami cenderung enggan untuk pergi ke tempat lain, mengembangkan pengalaman dan mengembangkan diri. Kenyamanan tersebut tidak hanya datang dari kemudahan dalam menjalankan berbagai kegiatan keagamaan. Perasaan bahwa kami telah terbiasa diistimewakan juga membuat sebagian besar masyarakat Bali sangat mengangungkan segala budaya dan tradisinya. Kecenderungan tersebut tentu saja sangat baik untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dan tradisi dari suatu daerah, apalagi kebudayaan tersebut menjadi salah satu kekayaan penting dari negara Indonesia. Akan tetapi, jika terus dikembangkan secara berlebihan, kenyamanan dan perasaan diistimewakan tersebut dapat menimbulkan kecenderungan chauvinisme jika tidak disikapi secara bijak.
Sebagai remaja Bali, saya juga merasakan kenyamanan dan kemudahan dari lingkungan serta keistimewaan perlakuan yang diberikan oleh masyarakat luar bagi segala budaya Bali dan keunikkannya. Meskipun demikian, sebagai remaja saya juga memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi untuk melihat lingkungan dan kehidupan di luar pulau kecil yang selama ini menjadi zona nyaman saya. Rasa ingin tahu tersebut menjadi salah satu motivasi saya dalam menentukan pilihan untuk melanjutkan pendidikan di luar pulau tempat saya lahir, tumbuh, dan berkembang. Kenyamanan yang saya dapatkan di pulau kelahiran saya memang tidak mudah untuk ditinggalkan. Akan tetapi, kesadaran bahwa ada banyak hal di luar kehidupan saya selama ini yang lebih besar membuat saya merasa bahwa tinggal di luar lingkungan dan zona nyaman saya adalah keputusan yang tepat. Saya merasa bahwa jika saya tidak pernah keluar dari lingkungan saya selama ini, saya tidak akan pernah tahu bahwa di luar sana ada banyak hal besar yang bisa saya temukan. Diawali oleh pemikiran tersebut, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di seberang pulau Bali, tepatnya di Yogyakarta.
Masa-masa awal saya tinggal di Yogyakarta saya lewati dengan cukup baik. Lingkungan di Yogyakarta yang sepertinya sudah terbiasa menerima pendatang dari luar pulau sebagai pelajar menyambut saya dengan hangat. Saya tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk beradaptasi di kota ini. Akan tetapi, setelah beberapa saat, saya mulai merasakan kesulitan dan beberapa hambatan dalam menjalankan aktivitas keagamaan saya. Terbiasa dengan kemudahan yang saya dapat di Bali, jumlah tempat ibadah bagi pemeluk Hindu di Yogyakarta yang cenderung terbatas membuat saya mulai merasa kesulitan untuk menjalankan kegiatan keagamaan. Tidak terdapat pura di tempat tinggal juga di kampus saya. Selain itu, kebiasaan untuk selalu diingatkan terkait hari-hari tertentu untuk melakukan ritual keagamaan juga masih terbawa hingga ke Yogyakarta. Hal tersebut membuat saya tanpa sadar melewatkan beberapa perayaan umat Hindu, karena di Yogyakarta tidak ada yang bisa selalu mengingatkan saya terhadap hari-hari besar tertentu. Saya juga sering melewatkan persembahyangan harian. Selain karena keterbatasan fasilitas dan sarana persembahyangan, tidak jarang hal tersebut dikarenakan rasa lelah, malas, dan enggan yang muncul setelah melaksanakan berbagai kegiatan. Tidak adanya figur otoritas yang mampu menegur dan membimbing dalam hal keagamaan membuat saya kurang mampu mengontrol diri sendiri dalam hal tersebut.
Pengalaman baru menjadi minoritas dalam hal agama membuat saya mulai merasakan kesulitan untuk membiasakan diri. Beruntung tidak lama setelahnya saya menemukan bahwa terdapat suatu komunitas yang menghimpun mahasiswa dan mahasiswi Hindu di kampus saya. Saya bergabung dalam komunitas tersebut dan merasa cukup terbantu dalam berbagai kegiatan keagamaan selama di Yogyakarta. Teman-teman di komunitas juga selalu saling membantu untuk mengingatkan setiap ada hari-hari tertentu perayaan keagamaan kami. Akan tetapi, saya menyadari jika saya terus bergantung dengan teman-teman di komunitas tersebut saya tidak bisa mengembangkan diri seperti tujuan awal saya melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Terlebih, jika kelompok minoritas berkumpul dan membentuk kelompok kecil di tengah suatu lingkungan baru, maka kohesivitas kelompok tersebut akan cenderung tinggi dan kecenderungan untuk mengeksklusifkan diri akan menjadi cukup tinggi. Maka dari itu, saya memutuskan untuk tidak selalu menggantungkan diri pada komunitas mahasiswa tersebut.
Saya kembali berusaha berbaur secara wajar dengan teman-teman lain yang berasal dari pulau, suku, ras, dan agama yang berbeda. Kami sama sekali tidak pernah membeda-bedakan dalam pergaulan. Toleransi beragama saya lihat sangat berkembang dengan baik dalam pergaulan saya dengan teman-teman baru saya. Tidak ada tindakan diskriminasi yang pernah saya alami dalam hubungan pertemanan tersebut. Toleransi dan kesetaraan yang saya rasakan semakin dikuatkan dalam proses perkuliahan saya secara formal. Pada saat itu, saya melihat terdapat mata kuliah pendidikan agama dalam kredit semester saya saat itu. Di Bali, pendidikan agama yang saya dapatkan adalah agama Hindu, dan saya tidak pernah mempertanyakan hal tersebut karena memang mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Akan tetapi, saya sempat merasa sedikit sangsi ketika saya melihat mata kuliah pendidikan agama dalam kredit semester saya. Saya menerka-nerka agama apa yang kira-kira akan saya pelajari, di tempat di mana Hindu bukanlah agama mayoritas.
Perasaan sangsi saya terjawab setelah proses perkuliahan dimulai. Saya merasa sangat kagum dengan konsep pembelajaran lima agama di Indonesia yang diterapkan dalam perkuliahan saya tersebut. Saya benar-benar merasa bahwa proses pembelajaran lima agama ini sangat membantu tercapainya tujuan saya untuk mengembangkan diri dan mengembangkan wawasan. Masing-masing agama dijelaskan secara universal, tanpa ada upaya indoktrinasi ajaran agama tertentu kepada pemeluk agama lain. Tidak ada aksi saling menjatuhkan, melecehkan, atau sekadar menyinggung suatu agama, meskipun kita semua menyadari bahwa negara Indonesia sangat rawan dan sensitif dengan isu-isu agama. Segala pembahasan dilakukan dalam ranah akademik dan sangat mendidik. Kita semua diajak untuk membuka mata dan mengembangkan sudut pandang yang berbeda dalam memandang suatu permasalahan terkait dengan agama dan keyakinan tertentu. Bahkan, dalam penjelasan dan pembahasan mengenai agama-agama yang tergolong minoritas seperti Hindu dan Buddha, banyak sekali ketertarikan yang ditunjukkan oleh teman-teman mahasiswa. Keterbatasan media yang memberikan informasi mengenai agama-agama minoritas tersebut membuat pemeluk agama yang bersangkutan menjadi sumber informasi yang menarik bagi mereka. Saya banyak mendapatkan pertanyaan dan permasalahan-permasalahan untuk didiskusikan bersama.
Ketertarikan yang ditunjukkan oleh teman-teman mahasiswa dan dosen terkait agama yang saya anut benar-benar memacu saya untuk mengembangkan diri dan menambah ilmu pengetahuan dalam hal agama saya. Saya bukanlah seorang pribadi yang sangat religius sehingga pengetahuan saya tentang agama pun masih benar-benar terbatas. Akan tetapi, rasa ingin tahu yang ditunjukkan oleh teman-teman mahasiswa dan dosen juga memacu rasa ingin tahu saya terhadap agama saya sendiri. Saya menyadari saya harus mendalami pengetahuan tentang agama saya agar saya mampu menjelaskan secara baik pertanyaan dan rasa keingintahuan dari lingkungan sosial saya yang baru. Secara tidak langsung, hal tersebut juga menjadi salah satu kontrol bagi diri saya dalam menjalankan kegiatan keagamaan saya sehari-hari. Saya bisa menjadi lebih memahami makna dan arti dari apa yang saya lakukan terkait dengan kegiatan keagamaan. Kontrol dari figur otoritas yang pada awal kepindahan saya ke Yogyakarta sangat saya butuhkan, ternyata saya dapatkan dari rasa ingin tahu yang ditunjukkan oleh teman-teman mahasiswa dan dosen. Pemaknaan yang lebih mendalam terkait kegiatan keagamaan saya tidak membuat saya menjadi seorang pemeluk agama yang radikal. Justru karena saya mendapatkannya dari lingkungan sosial yang berbeda, membuat saya bisa menjalankan kegiatan keagamaan dengan toleransi yang tinggi bagi pemeluk agama lain.
Pola pikir dan stigma masyarakat terkait kelompok mayoritas dan minoritas cenderung membuat seseorang berpikir bahwa mereka akan diuntungkan jika menjadi kelompok mayoritas, dan akan dirugikan jika menjadi kelompok minoritas. Akan tetapi, apa yang saya rasakan justru menunjukkan bahwa kita tetap dapat merasakan manfaat di mana pun kita berada jika kita mau dan mampu mencari dan menghargai setiap proses pembelajaran yang kita terima. Sebagai kelompok minoritas dalam hal agama, saya menjadikan ke-“minoritas”-an saya untuk memacu diri dalam memahami dan mendalami ajaran agama saya sendiri. Selain itu, saya juga merasa sangat beruntung karena berada di tengah lingkungan mayoritas yang berbeda karena saya menjadi memiliki lebih banyak sarana untuk belajar mengenai perbedaan tersebut. Hal itu tentunya membantu saya dalam membuka pandangan dan mengembangkan sudut pandang yang beragam dalam melihat suatu permasalahan. Sayangnya, pola pikir terkait kelompok mayoritas-minoritas seperti yang saya sebutkan di awal seringkali digunakan sebagai sarana oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memecah belah persatuan demi kepentingan golongan mereka sendiri. Maka dari itu, sangat diperlukan kesadaran masyarakat untuk mengubah pola pikir mayoritas-minoritas tersebut.
Tentunya memang bukan hal yang mudah untuk mengubah suatu pola pikir dalam masyarakat luas yang telah berkembang secara mendalam dalam waktu yang lama. Semuanya bisa dimulai dengan memanfaatkan komunitas akademik dan berpendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. Negara kita memiliki banyak kaum terpelajar yang sepatutnya memiliki wawasan yang luas dalam memandang suatu permasalahan. Generasi terpelajar diharapkan lebih terbuka dan kritis dalam menghadapi dan menyikapi suatu perubahan. Perpecahan yang disebabkan karena pola pikir yang cenderung telah terbangun di masyarakat dapat mulai diupayakan dengan mengubah pola pikir dari kaum-kaum terpelajar. Generasi terpelajar adalah orang-orang yang diharapkan memiliki pengaruh besar di tengah masyarakat, sehingga apa yang menjadi pola pikir mereka kemudian dapat diikuti oleh masyarakat luas. Selain itu, perkembangan media penyedia informasi yang semakin pesat juga tentunya dapat memudahkan pembentukan pola pikir masyarakat untuk menghindari perpecahan. Semua pihak benar-benar dibutuhkan untuk menyadari hal tersebut, dan turut andil dalam upaya pencegahan perpecahannya.
Kendala pasti ditemukan dalam berbagai upaya yang menuntut adanya perubahan dari masyarakat banyak. Akan tetapi, selama kita mau berusaha untuk melakukan perubahan, pasti ada perubahan yang terjadi meskipun dalam skala yang sangat kecil. Keyakinan bahwa semua hal besar bermula dari hal kecil juga dapat membangkitkan semangat untuk tidak lelah melakukan perubahan-perubahan kecil. Selama kita menyertainya dengan cinta dan ketulusan, tidak akan ada upaya yang sia-sia. Seperti kalimat berharga yang disampaikan Bunda Teresa, “tidak semua orang bisa melakukan hal besar, tetapi semuanya bisa melakukan hal kecil dengan cinta yang besar”. Tulisan ini mungkin masih sangat berbelit-belit dan tidak memiliki pilihan kata dan bahasa yang baik. Saya hanya ingin membagikan pengalaman pribadi yang saya rasa sesuai dengan kondisi carut-marut mengenai kebhinekaan di negeri ini. Saya berharap, penyalahgunaan status mayoritas-minoritas tidak terus terjadi dan memecah-belah negeri Indonesia yang tercinta.